Saturday, March 29, 2008 |
"Kerupuk Warung" Pun Terancam Punah
|
Source KOMPAS : Mulyawan Karim Pekerja sebuah pabrik kerupuk di daerah Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (27/3), tengah menjemur adonan kerupuk sebelum digoreng dan dipasarkan. Jumat, 28 Maret 2008 | 01:04 WIB
Tak semua orang sadar, belakangan ini kerupuk tapioka bundar yang biasa dijual di dalam kaleng di warung-warung pinggir jalan ukurannya lebih kecil dari sebelumnya. Memangkas ukuran kerupuk merupakan salah satu kiat untuk bertahan. mulyawan karim
Dengan cara itu, para pengusaha kerupuk murah meriah tersebut bisa bertahan hidup di tengah meroketnya harga bahan bakar dan bahan-bahan baku saat ini.
"Tidak bisa tidak, kami harus mengecilkan ukuran. Kalau tidak, kami bisa bangkrut," kata Ny Erlin, pengusaha kerupuk warung, di rumah yang sekaligus menjadi pabriknya di Kelurahan Menteng, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (27/3). Sejak Januari lalu, saat minyak tanah mulai langka dan harganya makin menggila, perempuan berusia 45 tahun itu mengurangi bahan adonan dari 17 gram menjadi 11-13 gram per kerupuk.
Langkah yang sama diambil Haji Kusnadi, pengusaha kerupuk warung lain di daerah Tugu, Cimanggis, Depok. "Ukuran diameter adonan kerupuk sekarang saya perkecil dari 6 sentimeter menjadi 5,6 sentimeter," kata lelaki berusia 54 tahun itu.
Menaikkan harga jual produk dianggap para pengusaha kerupuk warung sebagai hal yang tak mungkin dilakukan. "Kerupuk ini, kan, makanan rakyat kelas bawah. Harga Rp 500 sudah maksimal. Kalau lebih dari itu, tak ada yang mau beli?" kilah Syamsuddin (66), pemilik pabrik kerupuk lain di Menteng Atas.
Namun, gara-gara minyak tanah harganya kini sudah mencapai Rp 6.000 per liter serta naiknya tepung tapioka, terigu, dan bahan baku lain, industri kerupuk rakyat ini terdera. "Terigu yang awal tahun ini masih Rp 92.500 per kuintal sekarang sudah Rp 180.000," keluh Ny Erlin yang menggunakan juga tepung terigu sebagai bahan racikan adonan kerupuknya.
Kembali ke kayu bakar
Sadar minyak tanah bersubsidi akan sepenuhnya hilang dari pasaran Jakarta dan harganya bakal tak terjangkau lagi, sejak beberapa bulan lalu perempuan yang mewarisi pabrik kerupuk dari ayahnya ini sudah mulai mengombinasikan penggunaan minyak tanah dengan dua jenis bahan bakar lain, yakni gas dan batu bara.
"Kalau pasokan minyak tanah sedang tersendat, saya pakai batu bara. Tetapi, karena pasokan batu bara dari perusahaan penyalurnya juga belum stabil, saya juga memakai gas," katanya.
Menurut Erlin, penggunaan elpiji masih jadi pilihan terakhir. "Para karyawan saya umumnya, kan, berpendidikan rendah. Mereka belum terlalu sadar besarnya bahaya jika mereka kurang hati-hati dan tabung elpiji sampai meledak," tuturnya.
Erlin yang pabriknya membutuhkan 100 liter mintak tanah menambahkan, jika masyarakat diminta mengganti bahan bakar untuk memasak dari minyak tanah ke bahan bakar lain, seharusnya bahan bakar baru itu tidak lebih mahal dari harga minyak tanah. Itu sebabnya, ibu dua anak ini mengeluhkan harga tabung elpiji 15 kilogram yang melonjak sampai Rp 500.000 per tabung sejak pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke elpiji. "Untuk beli enam tabung gas saja saya sudah menghabiskan uang Rp 3 juta," ujar bos pabrik kerupuk Puji Rasa itu.
Untuk menekan biaya produksi, Haji Kusnadi bahkan mengaku sudah kembali mencoba menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakar untuk mengukus adonan dan menggoreng kerupuknya. "Kayu didapat dari penebangan pohon milik warga di sekitar rumah saya. Alhamdulillah, ada saja tetangga yang menawari pohon tua untuk ditebang," cerita Kusnadi yang mengaku sengaja membeli gergaji mesin untuk keperluan ini.
"Saya sekarang juga menggoreng kerupuk memakai serbuk kayu sisa penggergajian para pembuat kusen yang banyak terdapat di sekitar pabrik saya yang di Cimanggis," kata pengusaha kerupuk yang punya dua pabrik di Beji dan Cimanggis ini.
Kebijakan kembali ke kayu bakar juga dipilih Haji Syamsuddin. Di gudang pabrik kerupuknya terlihat tumpukan potongan kayu bekas, bukan drum minyak tanah atau tabung-tabung elpiji.
Sumber hidup banyak orang
Erlin mengaku sebetulnya sudah lelah mengurusi pabrik kerupuknya yang sudah berdiri sejak tahun 1949. "Saya tetap berusaha bertahan hanya karena memikirkan nasib para karyawan. Kalau pabrik ditutup, mereka, kan, akan jadi penganggur," kata Erlin yang punya 40 karyawan.
Para pekerja pabrik kerupuk di Jakarta umumnya adalah orang desa miskin dari daerah Ciamis, Jawa Barat. Mereka adalah orang-orang desa yang tak lagi bisa menggantungkan hidup dari sektor pertanian. Mereka merantau dan mengadu nasib di Ibu Kota bukan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kehidupan anak-istri di kampung halaman.
Kusnadi juga bilang, pabrik kerupuknya tidak hanya menghidupi dirinya sendiri, tetapi juga segenap karyawannya.
"Di seluruh wilayah Jabodetabek ada lebih dari 400 pengusaha kerupuk. Kalau tiap orang mempekerjakan 30 orang saja, artinya ada 12.000 orang yang hidupnya bergantung pada industri kecil ini," papar Kusnadi, yang juga pengurus Asosiasi Pengusaha Kerupuk Se-Jabodetabek.
Namun, menggilanya harga bahan bakar dan bahan baku produksi membuat para pengusaha kerupuk ini terancam gulung tikar dan terpaksa merumahkan para pekerjanya.
Kalau hal ini benar-benar menjadi kenyataan, bukan mustahil kerupuk warung, yang entah sejak kapan sudah jadi teman setia makan kita sehari-hari, akan segera jadi sejarah, punah digulung zaman.
|
|
|
Wednesday, March 26, 2008 |
Siapa diuntungkan dari tanaman transgenic?
|
OLEH Lutfiyah Hanim
Hanya sejumlah kecil petani kaya dan perusahaan-perusahaan biotek yang diuntungkan dari penanaman tanaman transgenik, demikian salah satu kesimpulan dari laporan yang diterbitkan Friends of The Earth dan Center for Food Safety. Dalam laporan yang diterbitkan pada bulan Februari 2008 lalu, menyebutkan penggunaan tanaman yang telah dimodifikasi secara genetic atau sering dikenal tanaman transgenic telah memacu peningkatan penggunaan pestisida. Tanaman tersebut juga gagal untuk meningkatkan hasil panen untuk mengatasi kelaparan dan kemiskinan.
Laporan berjudul ‘Who Benefit from GM Crops? the Rise in Pesticide Use (Siapa diuntungkan dari tanaman yang dimodifikasi genetic? Kenaikan dalam Penggunaan Pestisida” diluncurkan hampir bersama dengan laporan yang ditulis oleh ISAAA (International Service for the Acquisition of Agri-biotech), lembaga pendukung industri bioteknologi di bidang pertanian.
Dalam laporan tahunannya, ISAAA menekankan pada persebaran tanaman transgenic. Menurut ISAAA, lahan tanaman transgenic tumbuh 12 persen atau 12,3 juta hectare, mencapai 114,3 juta hectare pada tahun 2007. ISAAA mengklaim ada 23 negera yang telah menanam tanaman transgenic, antara lain Amerika Serikat, Argentina, Brazil, kanada, India, china, Paraguay, Afrika Selatan, Uruguay, Filipina, Australia, Spanyol, Meksiko, Kolombia, dan Chili.
Bagi pendukung tanaman transgenic, perluasan lahan tanaman ini tentu menjadi sesuatu yang dirayakan. Bertahun-tahun para pendukungnya mengkampanyekan peningkatan produksi tanaman trasngenik untuk memberi makan orang kelaparan dan membantu mengatasi kemiskinan di negara-negara berkembang. Dalam laporan ISAAA yang ditulis oleh Clive james, yang juga pendiri dari organisasi tersebut, mengatakan bahwa tanaman hasil rekayasa bioteknologi dapat memainkan peran penting dalam upaya mencapai salah satu Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals - MDGs) yaitu mengatasi kelaparan dan kemiskinan. Seperti dicontohkan, mengenai peranan penanaman Kapas Bt (kapas trasngenik) di India, yang dikatakan memberikan kontribusi signifikan dalam peningkatan pendapatan petani.
"Industri biotek mengatakan kepada orang-orang Afrika bahwa kami membutuhkan tanaman transgenic untuk mengatasi kebutuhan pangan dari populasi kami. Tetapi mayoritas hasil tanaman trasngenik digunakan untuk pakan ternah di negara-negara industri maju; untuk memproduksi bahan bakar dan bahkan dengan hasil yang tidak melebihi hasil tanaman konvensional,” kata Nnimmo Bassey, koordinator FoE Internasional di Nigeria. "Selama bertahun-tahun, industri bioteknologi telah meniupkan keuntungan dari tanaman trasngenik, tetapi laporan ’Who Benefit from GM Crops” menunjukan bahwa gambaran yang seseungguhnya,” kata Andrew Kimbrell, Direktur eksekutif dari Center for Food Safety. "Tanaman-tanaman ini benar-benar mempromosikan penggunaan pestisida dalam jumlah yang lebih besar dan menyebabkan kerusakan yang langsung pada lingkungan dan petani kecil.
Laporan CFS dan FoE juga mengemukakan fakta lain, mengenai perkembangan tanaman trasngenik yang menurut ISAAA ditanam di 23 negara. Dari data, lebih dari 90 persen tanaman trasngenik hanya ditanam di lima negara utama, yaitu Amerika Serikat, kanada, Argentina, Paraguay dan Brazil. Lebih dari 50 persen ditanam di Amerika serikat, Lebih dari 70 persen ditanam di AS dan Argentina. Lebih dari satu dekade pengembangan, jumlah lahan ditanami dengan tanaman trasngenik hanya 3 persen dari total yang lahan pertanian di seluruh dunia.
Dalam pengembangan tanaman hasil rekayasa genetika dipromosikan dapat diaplikasikan untuk berbagai macam jenis tanaman. Namun, ternyata terdapat stagnasi dalam keragaman tanaman trasngenik yang ditanam. 100 persen tanaman trasngenik yang ditanam hanya pada empat tanaman yaitu ; jagung, kanola, kedelai dan kapas. Sementara jenis-jenis tanaman transgenik lainnya seperti beras, tomat, pepaya, kentang, jagung manis dan gandum tidak diterima oleh pasar dunia.
Di awal pengembangan tanaman hasil rekayasa bioteknologi, dipromosikan dapat menghasilkan tanaman yang tahan kekeringan, meningkatkan nutrisi, tahan kadar garam tinggi, dan tahan penyakit. Tetapi perkembangannya, yang diproduksi oleh perusahaan bioteknologi hanya dua jenis yaitu toleran terhadap herbisida (herbicie tolerance) dan tahan serangga (insect resistance) yang tidak memberi keuntungan apapun pada konsumen dan lingkungan. Bahkan tanaman yang toleran terhadap herbisida mencapai 80 persen dari seluruh tanaman trasngenik.
Industri mengklaim bahwa kapas Bt (salah satu jenis kapas transgenik) akan meningkatkan hasil panen dan meningkatkan pendapatan petani. Tetapi penelitian menunjukkan bahwa peningkatan hasil panen kapas lebih disebabkan oleh iklim yang cocok (seperti di India dan AS) dan sistem irigasi (Afrika Selatan) dibandingkan dengan jenis biotek yang digunakan.
Di satu daerah di Afrika Selatan (Makhatini Flats) seringkali dipotretkan sebagai contoh ‘cerita sukses’ tentang keuntungan kapas trasngenik. Namun justru jumlah petani kapasnya turun drastis, dari 3229 pada tahun 2001/2002 hanya menjadi 853 pada tahun 2006/2007.
Kondisi yang muram juga dihadapi oleh petani kapas di India yang beralih ke tanaman transgenik. Di daerah Punjab bagian Selatan, dikenal sebagai salah satu contoh sukses petani kapas Bt di India, karena hasil yang tinggi pada tahun 2005. Namun pada tahun 2007, tanaman kapas Bt diserang oleh hama kepik tepung (mealy bug). Serangan hama ini memaksa petani menggunakan pestisida lebih banyak dari sebelumnya, yang tentu saja meningkatkan pengeluaran petani untuk membeli input.
Salah satu keunggulan dari tanaman trasngenik seperti yang dilansir dalam laporan ISAAA adalah dapat mengurangi penggunaan pestisida. Seperti yang diproduksi oleh perusahaan multinasional Monsanto, yang menjual bibit trasngenik jenis RR atau Roundup Ready. Dimana bibit tersebut telah didesain dengan mengandung glyphosate, yaitu bahan aktif pembunuh tanaman pengganggu atau semacam herbisida. Sehingga diharapkan tidak perlu menggunakan herbisida pada saat penanaman. Monsanto, selain produsen benih trasngenik juga merupakan produsen herbisida dengan bahan aktif glyphosate, bermerek Roundup.
Namun, pemerintah AS menemukan fakta telah terjadi peningkatan 15 kali lipat pengunaan glyphosate pada kedelai, jagung dan kapas pada periode 1994 sampai 2005, yang didorong oleh penggunaan varietas RR. Dimana seharusnya penggunaan RR akan menurunkan penggunaan herbisida tesebut.
Penggunaan yang berlebihan tersebut menimbulkan dampak lain yaitu tanaman penggangu (weed) menjadi resisten. Seperti yang ditemukan di AS, Argentina dan Brazil. Ilmuwan melaporkan tanaman penganggu yang resisten terhadap glyphosate mencapai 2,4 juta acre di AS.
Meningkatnya resistensi tanaman pengganggu pada glyphosate telah menaikkan penggunaan bahan kimia beracun lainnya. Di AS, ada peningkatan dua kali lipat bahan kimia 2,4-D pada periode 2002 – 2006. Bahan 2,4-D merupakan komponen Agent Orange, bahan pemusnah dalam perang Vietnam. Di Argentina, diperkirakan dibutuhkan 25 juta liter herbisida non glyphosate untuk menangani tanaman penggangu yang resisten terhadap glyphosate. Dari laporan ISAAA di atas, terlihat jelas bahwa laporan tersebut berpihak pada penyebaran tanaman trasngenik. Dengan korporasi besar, perusahaan penghasil pestisida dan benih kelas dunia berada di balik pengembangan tanaman biotek tersebut. Lazimnya perusahaan, maka keuntungan menjadi tujuan utama dari semua aktivitasnya, termasuk dalam riset tanaman transgenik.
Sedangkan laporan dari FoE dan CFS menjadi gambaran lain yang tidak akan pernah dimunculkan oleh perusahaan pengembang produk transgenic. Laporan juga menyebutkan bahwa tanaman tersebut bukan lah produk super yang bisa mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Bahkan bisa menjadi penyebab kemiskinan petani. Produk tersebut juga tidak bisa mencapai tujuan utama dikembangkannya produk transgenic, untuk mengurangi pestisida. Karena di berbagai tempat malah menaikkan tingkat penggunaan pestisida. Karena itu, laporan FoE dan CFS seharusnya bisa menjadi cerminan bagi Indonesia yang penduduknya bersandar pada pertanian. Tidak sekedar mengikuti trend teknologi yang kelihatan hebat, tetapi hanya merugikan petani, berdampak buruk pada lingkungan dan tidak menguntungkan konsumen.
** Sumber: Laporan “Who Benefit from GM Crops?: The rise in Pesticide Use” bisa diunduh dari website Center for food Safety www.centerforfoodsafety.org dan ISAAA Brief 37-2007: Executive Summary Global Status of Commercialized Biotech/GM Crops: 2007
|
|
|
|
Week of strategy and action against EU FTAs
|
Brussels and European capitals, 6-11 April 2008
Invitation to a Public Hearing in the European Parliament on EU Free Trade Agreements Brussels, 9 April 2008 (9:00 – 13:00)
Over 40 delegates from movements and organisations from the Global South will visit Europe and join together with European organisations to sound the alarm on EU Free Trade Agreements (FTAs) Since the end of the 1990s, the European Union has pursued a multi-facted trade strategy: at the same time as pursuing multilateral negotiations it has also been pushing for bi-lateral and bi-regional agreements (covert FTAs named: 'Association Agreements' and 'Economic Partnership Agreements' (EPAs)) with specific countries (Mexico, Chile, South Africa) and regions in Latin America, Africa, and Caribbean and the Pacific (ACP) countries. However, by 2006 the EU decided to launch its most aggressive trade and investment strategy, identifying FTAs as the main framework within whichto achieve sweeping liberalisation. This strategy is elaborated in the EC Communication Global Europe: Competing in the World. This new and far-reaching, TNC-serving, European strategy, marks a new phase in EU trade policy. Since the launch of this communication, the EU has begun negotiations with: the Association of South East Asian Nations (ASEAN), Central America Region, Andean Community of Nations (CAN), South Korea, and India. Other key targets have also been identified: the MERCOSUR region (where the EU-MERCOSUR FTA has been stalled for some time), the Euro-Med Free Trade Zone, the Gulf Co-operation Council (GCC). The EU is also pushing for the creation of a Free Trade Area particularly focusing on the US and Canada. Throughout 2007, the Commission has pursued a divide and rule strategy with regards negotiations with ACP countries. Since the beginning of these negotiations social movements and NGOs, both from the regions of the South as well as from Europe, have been critically assessing, strategizing and in many cases openly opposing the content and form of these negotiations. From Mexico to Chile, Africa to the Caribbean, South Korea to Thailand, initiatives attempting to tackle the negative aspects of these negotiations began in isolation; now, as the EU strategy is being seen as a much more systemic process we see that it is necessary to ally our efforts, strategies and mobilisations. The overall objective of the public hearing is to assess the state of play of the EU trade offensive, make its impacts in the South and in Europe known to a wider audience and to develop appropriate policy responses. Organised by: Seattle to Brussels Network (S2B), Hemispheric Social Alliance (HSA), Africa Trade Network (ATN), Korean Alliance against EU FTAs (KoA), Korean Confederation of Trade Unions (KCTU), Asia-Europe People's Forum network (AEPF-EU ASEAN FTA), Enlazando Alternativas (Bi-regional network Europe, Latin America and Caribbean), Transnational Institute (TNI), 11.11.11., Focus on the Global South, FDCL, Ecologistas en Acción, War on Want, WEED, WIDE, Both Ends, SOMO, World Development Movement (WDM), Friends of the Earth EWNI, Friends of the Earth Europe, Friends of the Earth International, Oxfam Solidarity Belgium, Terra Nuova, Campagna per la Reforma della Banca Mondiale, FAIR, Mani Tese, Corporate Europe Observatory, Institute for Agriculture and Trade Policy (IATP), ATTAC Austria. With the collaboration from: Our World Is Not For Sale Network, Heinrich Böll Foundation, ICCO, Oxfam-Novib, IGTN, Action Aid and European Parliamentary Group GUE/NGL. For more info: www.S2Bnetwork.org - pietje.vervest@tni.org - agroecologia@ecologistasenaccion.org Please note that you should register before April 1, thank you very much!!! Kind regards and our best wishes, Seattle to Brussels Network
|
|
|
|
Health: EU Complains Again Aabout Affordable Medicine
|
Brussels, 19 Mar (IPS/David Cronin) -- The European Union has made a fresh complaint to Thailand over policies aimed at guaranteeing that the poor are not deprived of vital medicines.
Shortly before leaving office, former Thai health minister Mongkol Na Songkhla issued compulsory licences in January this year, over-ruling patents on four treatments for cancer.
This was the latest in a series of decisions by the Bangkok government designed to bring down the prices of drugs that would otherwise be too expensive for a large section of the country's population.
The EU's executive, the European Commission, has requested the newly installed government headed by Prime Minister Samak Sundaravej, to reconsider the move.
The EU's call comes despite its recognition that rules set by the World Trade Organisation do not forbid countries from giving measures deemed necessary to safeguard public health a higher priority than intellectual property rights asserted by pharmaceutical firms.
"The Commission has been in constant contact with the Thai authorities and has stressed that compulsory licensing, while allowed by WTO rules, should be regarded as a last-resort option, and that negotiations and collaboration with pharmaceutical companies should be sought," arussels-based trade official told IPS.
"The EU is hoping that this will be the line of the new government." The official asked not to be named.Anti-poverty and consumer protection campaigners have voiced their unease at the Commission's call, which follows a similar appeal to Thailand in July 2007. At that time, EU trade commissioner Peter Mandelson wrote to Bangkok to
say that he was concerned by reports that Thai authorities had decided on "systematic use" of compulsory licensing in cases where they viewed the price of a patented drug as prohibitive. Such an approach would damage innovation in the pharmaceutical field, he contended.
Ellen t' Hoen from the aid organisation Medecins Sans Frontieres/Doctors Without Borders said that she regarded the Commission's latest call on Thailand as "quite shocking." She said that it is at variance with a declaration on public health approved by the WTO at a 2001 ministerial conference in the Qatar capital Doha.
"In no shape or form does that Doha declaration talk about compulsory licensing having to be a last resort," she added. "Nor does it ask for prior negotiations with the pharmaceutical industry when a government decides to use compulsory licensing."
EU officials have said that they do not have a problem with Thailand using compulsory licensing for AIDS treatment, as has been done over the past few years. Yet they have questioned how Thailand has also invoked such measures for heart disease and cancer treatments. Officials have privately queried if those diseases are so prevalent in Thailand that they constitute emergencies.
T' Hoen pointed out that there is nothing in the 2001 WTO declaration stipulating that it only applies to medicines for particular illnesses. "It is not up to DG Trade (the Commission's trade division) to decide if a cancer patient in Thailand gets treatment or not."
Jill Johnstone from the National Consumer Council in Britain said the vast majority of Thais lived on just over five dollars a day in 2006. Before a compulsory license was issued last year for Plavix, which is prescribed for patients who have had heart attacks or strokes, the price of a recommended daily dose was two dollars, she noted, "or nearly 40% of the average income of the bottom 80% of the population."
"There is simply no way that Thailand will be able to honour its Doha pledge to implement its intellectual property laws in a manner consistent with access to medicine for all, if the US and the European Commission exert pressure every time Thailand issues compulsory licenses," she added.
Defenders of compulsory licensing suggest that it has been a useful tool in persuading drug companies to reduce their prices. Among the treatments affected by January's announcement on cancer drugs was Imatinib, which is marketed under the brand name Glivec by the Swiss company Novartis.
After the Thai authorities announced that they were issuing a compulsory licence, Novartis offered this anti-leukaemia drug free of charge to the national health insurance programme. As a result, the compulsory license for this drug was dropped, though three others for treatments anufactured by other companies were maintained.
"Poor people with cancer or heart disease cannot afford to buy very expensive drugs," said a Thai diplomat. "That is why our government has used compulsory licensing for drugs for poor people."
"My personal opinion is that I understand that when compulsory licensing is used,drugs companies cannot make a profit. On the other hand, there should be sympathy towards really poor people who will die if they don't have these drugs."
Despite the Commission's stance, it claims to have no intention of formally asking the WTO to investigate Thai policies. "There has never been any talk of a WTO complaint on Thailand's compulsory licensing for medicines," said an EU source.
|
|
|
Monday, March 17, 2008 |
World Silent Day
|
Bali Collaboration on Climate Change Takes you into a journey of Silence.
We ask you to SWITCH OFF ELECTRONIC APPLIANCES FOR FOUR HOURS on 21st March 2008 at 10.00 – 14.00 hours As a first step towards WORLD SILENT DAY 21 March 2008
You don't have to be a superhero to tackle climate change. We can reduce green house gas emission by doing nothing!!! Through Silence.
This is inspired by the Nyepi or Silent day practiced by people in Bali for many centuries, even now.
For 24 hours people do not travel, work or light the lamps at night. One Silent Day in Bali is estimated to reduce at least 20,000 tons of CO2, the largest contributor of green house gas. Please see www.worldsilentday.org.
We invite you to contribute to green house gas reduction by reducing energy consumption on 21 March.
SWITCH OFF YOUR ELECTRONIC APPLIANCES (computer, AC, TV, radio, cell phone, etc) FOR 4 HOURS ONLY !!
REMEMBER 21 MARCH!!! GIVE THE EARTH SPACE AND TIME TO BREATHE!!
PLEASE SEND THIS CAMPAIGN SHEET TO OTHERS!! OR YOU CAN FIND YOUR OWN WAY OF SILENCE
PLEASE LET US KNOW THE SILENT HOURS THAT YOU UNDERTAKE ON 21 MARCH TO: mysilent@worldsilentday.org
For more information, please contact:
info@worldsilentday.org www.worldsilentday.org
Bali Collaboration on Climate Change
|
|
|
|
|