[Jakarta, 8 Juni 2008, API] Petani tidak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga pangan global saat ini, demikian dikatakan oleh Lutfiyah Hanim kepada kepada wartawan dari MediaCorp Singapura. Wawancara yang berlangsung di tengah sawah, desa Samudera Jaya, Bekasi itu berlangsung selama beberapa jam untuk pembuatan program televisi yang rencananya akan ditayangkan 19 Juli oleh Channel News Asia.
Dalam wawancaranya, Hanim yang juga menjadi penasehat untuk penelitian Aliansi Petani Indonesia, mengatakan bahwa ada banyak factor mengapa petani tidak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga pangan, beras misalnya, yang mencapai 75 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Pertama, adanya rantai distribusi yang panjang antara konsumen di perkotaaan dengan produsen di pedesaan. Sehingga keuntungan atas kenaikan harga biasanya dieproleh oleh para pedangag dan distributor bukan oleh petani. Kedua, perdagangan beras dalam skala besar dikuasai oleh sedikit pedangan, yang menguasai jalus distriubi. Pulau Jawa misalnya, yang merupakan penghasil beras terbesar dikuasai oleh kurang dari lima distributor/pedagang beras.
Hanim juga menyebutkan adanya hubungan yang tidak asimetris antara harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen. Apabila, ada kenaikan harga di tingkat konsumen maka itu akan ditrasnmisikan secara lambat dan tidak seimbang ke tingkat produsen. Artinya kalau ada kenaikan harga di tingkat konsumn, produsen hanya mendapat sedikit atau tidak mendapat keuntungan. Sementara jika ada kenaikan di tingkat produsen, harga begitu cepat mempengaruhi kenaikan di tingkat konsumen.
Jadi, petani dan juga konsumen sebanarnya sama-sama tidak diuntungkan dari kenaikan harga ini, demikian kata Hanim.
Selain itu, pada saat kenaikan harga, juga terjadi kenaikan harga-harga input, karena kenaikan BBM sehingga akan menaikkan biaya produksi. Karena itu walalpun harga pembelian pemerintah dan harga pembelian dari tengkulak naik, tetapi kenaikan harga pupuk dan pestisida.
Karena itu, perlu campur tangan dari pemerintah. Hanim menyebutkan peran Bulog (badan Urusan Logistik) yang dulu memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kepentingan produsen dan konsumen, saat ini malah diprivatisasi. Sehingga mengurangi peranannya dalam menjaga kestabilan harga pangan, dan ketersediaan pangan di pasar.
Pemberian subsidi benih, pupuk juga masih sangat diperlukan. Selain, juga diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung petani, pertanian dan ketersediaan pangan. Apalagi Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, 220 juta, yang sebagian besar adalah menjadikan beras sebagai makanan pokok. "sangat rentan mengandalkan pasar internasional untuk meyediakan pangan bagi Negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia" demikian kata Hanim. "pasar pangan di dunia tipis, karena Negara eksportir pangan seperti Thailand dan Vietnam akan mementingkan kepentingan domestic ketimbang melakukan ekspor. Sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana pemerintah membantu melalyui berbagai kebijakan, subsidi dan perlindungan pada petani yang mendorong perbaikan di sector pertanian.
Wawancara juga mengungkapkan berbagai problem petani dan pertanian. Kebanyakan petani tidak memiliki keterbatasan lahan pertanian. Sekitar 80 persen dari petani di Desa Samudera Jaya adalah petani penggarap yang tidak memiliki lahan. Sehingga harus menyewa dari pemilik, yang kebanyakan adalah para developer perumahan.
"Betapa rentannya situasi kita saat ini, mengandalkan produksi pangan, terutama beras, dari para produsen yang tidak menguasai alat produksi yang paling mendasar dalam pertanian, yaitu tanah. Jika para developer pemilik tanah itu menginginkan adanya pembangunan rumah dilakukan, kemana petani-petani kan pergi," demikian tanya Hanim.
Hanim juga menyebutkan pentingnya sector pertanian sebagai penyerap tenaga kerja. Ketika terjadi krisis, pertanian juga menampung limpahan pengangguran dari tutupnya sector industry di perkotaan.
Kepala Desa Samudera Jaya, Pak Ibnu menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk di daaerahnya adalah petani. Namun hanya 20 persen yang memilik tanah, sebagian lagi dimiliki oleh orang-orang di Jakarta.
"sebenarnya menjadi petani itu rugi, kata Pak Ibnu. "Tapi warga saya mensiasati dengan bekerja di luar pertanian juga, seperti menjadi buruh di industry-industri, membuka warung-warung, memelihara bebek dan menanam berbagai jenis sayuran. kalau tidak begitu, mana cukup,"katanya. Karena mereka juga tidak punya pilihan lapangan kerja lain.
Pungut Setiawan, salah seorang petani yang ditemui saat itu, seperti yang lainnya, tidak punya tanah. Ia juga mensiasati kehidupannya dengan memelihara bebek. “Sebagian petani disini memang punya kerjaan sampingan, “ Kisahnya. ”Sekarang kami bisa menyewa tanah, itu sudah bagus. Dulu, para petani disini hanya bisa mengandalkan bagi hasil dengan pemilik tanah”.
Pungut Setiawan dan rekannya Nihat Maduwih mengatakan bahwa saat ini belum terlihat dampak yang nyata atas kenaikan harga pangan. "mungkin karena kami baru panen" jelas pak Pungut. Nihat Naduwih mengatakan bahwa dampak kenaikan harga BBM sudah mulai terasa dengan kenaikan beberapa bahan kebutuhan pokok.
Desa Samudera Jaya yang berpenduduk sekitar 4.200 jiwa dan 1400 KK tersebut terletak di daerah Bekasi merupakan daerah sub urban yang menampung proses industrialiasi, perumahan dan bahkan aktivitas pertambangan. Sebagian petani di desa ini, menjadi anggota Aliansi Petani Indonesia. Di kejauhan, terlihat api besar berkobar dari ladang-ladang pengeboran minyak pertamina. Bebek-bebek berenang di saluran air yang terlihat hitam dan berbusa, dan para perempuan petani terlihat memanen kangkung dan bermacam sayuran dari pinggiran sungai itu.
”kehidupan petani, tidak seperti yang orang kota bayangkan terlihat romantis, damai, dan hijau seperti iklan di televisi, tetapi penuh perjuangan”, kata Hanim. ”kami berharap, pemerintah dan semua pihak meletakkan pangan dan petani sebagai prioritas. Kami tidak ingin menuding salah satu pihak yang paling bersalah dalam krisis ini. Kami hanya mengiinginkan harga yang wajar, dan lebih baik. Agar kami bisa tetap mengirimkan anak-anak kami ke sekolah, demikian katanya di penghujung wawancara.