Monday, September 8, 2008 |
Ada apa dibalik “Food Crisis”? dan Bagaimana Solusinya
|
Amalia Pulungan
( Artikel ini juga dimuat di globaljust.org )
“The Silent tsunami”, demikian pernyataan Jossette Sheeran dalam majalah The Economics edisi 19 april 2008. Pernyataan Sheeran mengacu pada gejala meroketnya harga-harga kebutuhan pokok (Jagung, beras, Gandum, dan kedelai), yang telah membimbing beberapa negara dunia ketiga dalam kerusuhan dan ketidakstabilan politik. Krisis pangan telah menimbulkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dipasar internasional mencapai 70-130%. Beberapa komoditi yang naik adalah beras (74%), tepung terigu (130%), jagung (31%) , kedelai (87%) dan minyak goreng. Harga minyak goreng curah (minyak goreng eceran ) di Indonesia dari Rp 6.000 per kilo tahun lalu menjadi Rp 12-16 ribu sekarang ini. Situasi ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Direktur Bank Dunia, Robert Zoellick memperkirakan bahwa food crisis akan mendorong 100 juta orang miskin di negara berkembang menjadi lebih miskin dan tidak dapat mengakses bahan makanan. Food Agriculture Organization (FAO) mengidentifikasi 36 negara di dunia yang rentan mengalami krisis pangan, 21 diantaranya berada di Afrika. Kerusuhan dan huru-hara meledak dimana-mana. Di Haiti, 4 warga tewas dalam aksi kerusuhan, 40 orang tertembak di Cameron dalam sebuah aksi protes kenaikan harga makanan, 200 orang ditangkap di Burkina Faso, 24 ditangkap di Senegal, ribuan petani temped dan kedelai menyerbu istana negara di Indonesia, demo pekerja di Bangladesh, dan berbagai krisis politik lainnya yang melanda berbagai negara. Keprihatinan ini membuat masyarakat inggris mengeluarkan ungkapan:” that’s their food that you burn for your car”.
Apa yang menyebabkan kenaikan harga bahan makanan sehingga melahirkan food crisis? Berbagai pengamat ekonomi dan pejabat dunia masih bersilang pendapat atas persoalan ini. Homi Kharas, seorang peneliti di Brookings Institution menyatakan bahwa kenaikan harga bahan makanan didorong oleh pertumbuhan populasi dunia dan perubahan pola konsumsi makanan. Cara pandang ini, mengingatkan kita dengan Thomas Malthus yang menganggap bahwa laju pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk. Pendapat ini kurang tepat! Menurut World Hunger Education Service , sebuah NGO yang berbasis di AS, produksi agrikultur global sanggup mencukupi 17% kalori per-orang seluruh dunia, meskipun jumlah populasi meningkat. Pendapat lain justru mempersalahkan pertumbuhan ekonomi China yang spektakuler sebagai penyebab kenaikan harga. Inipun pendapat yang kurang tepat, mengingat China masuk dalam daftar pengekspor beras, gandum, dan jagung. Lagipula tingkat konsumsi seluruh populasi China adalah tiga kali lebih rendah dibanding dengan konsumsi masyarakat Eropa dan AS.
Lalu Apa penyebab sesungguhnya krisis pangan ini? Pertama, kenaikan harga minyak dunia yang melampaui 100USD/barel telah memicu kenaikan harga-harga komoditi lain. Kenaikan harga minyak menyebabkan cost produksi yang dikeluarkan petani membengkak, cara satu-satunya untuk mengatasi situasi ini adalah penyesuaian harga. Tidak adanya energi alternatif yang lebih murah membuat petani tidak bisa melepaskan fossiel fuel sebagai bahan bakar mekanisasi pertanian. Kedua, kenaikan harga-harga minyak juga telah mendorong negara-negara didunia (utamanya negara maju) beralih pada bioenergi (Bio-fuel). Tahun lalu produksi grain (biji-bijian seperti padi, jagung, gandum dll) dunia mencapai rekor tertinggi yaitu 2,1 milyar ton, naik 5 persen dari tahun sebelumnya. Dari 2,1 milyar ton, menurut organisasi pangan PBB, FAO hanya 1,1 milyar ton akan dikonsumsi. Sebagian lagi diolah menjadi biofuels. 20 juta hektar lahan pertanian AS sekarang dipakai untuk agrofuels, dan ini diikuti oleh Argetina, Canada, Uni Eropa, dan Asia. Selama 2007 diperlukan jagung sebanyak 85 juta ton (atau 25% dari jumlah keseluruhan jagung yang dipanen) diubah menjadi etanol. PBB mengatakan penggunaan 232 Kg jagung untuk 50 liter tangki mobil setara dengan memberikan makan kepada anak-anak kelaparan dalam setahun. Ketiga, melonjaknya harga-harga bahan makanan pokok telah menjadi kesempatan menggiurkan bagi spekulan. Banyak spekulan kredit perumahan mengalihkan kreditnya pada komoditi bahan makanan, menyebabkan harga bahan pangan meningkat drastic. Keempat penyebab lain dari kenaikan harga pangan adalah climate change. Meskipun tidak dominan, akan tetapi, perubahan iklim dan bencana alam telah menyebabkan kegagalan panen di berbagai negara eksportir.
Food Crisis dan Carut Marut Pertanian di Indonesia Indonesia adalah 10 besar negara pengimpor beras, tepung dan kedelai. Kendati memiliki lahan pertanian yang cukup luas, namun, strategi pertanian yang pro-liberalisasi telah memaksa Indonesia sebagai negara pengimpor. Pencabutan subsidi dan liberalisasi telah memukul produksi lokal, menyebabkan pertanian kurang produktif dan ditinggalkan. Selain itu, harus diingat bahwa hampir separuh penduduk Indonesia (49,5%) dinyatakan oleh Bank Dunia, berpendapatan dibawah 2 USD/hari. Kenaikan harga-harga bahan makanan akan memukul rakyat Indonesia yang berpendapatan sangat rendah ini. Dengan kenaikan harga bahan pokok yang berkisar 15-30%, setidaknya ada sekitar 110 juta orang Indonesia yang kesulitan mengakses bahan makanan. Kenaikan harga kedelai dari Rp 3.500 menjadi Rp 7.500, harga gula pasir dari Rp. 6.000 menjadi Rp. 8.000 perkilo, harga beras per-liter berkisar antara Rp. 5.000 sampai Rp. 6.500, cabai dari Rp 12.000 menjadi 17.600 per kg, harga telur ayam naik dari Rp 8.500 per kg menjadi Rp 9.100, begitu juga dengan harga daging ayam kampung yang naik dari Rp 45.000 menjadi Rp 47.000 per kg. Dengan pendapatan Rp. 18.000 per-hari, maka sebuah keluarga di Indonesia hanya sanggup membeli beras, minyak goreng, tempe dan gula pasir, inipun disertai jurus ”menghemat”. Kalau pendapatan sehari hanya cukup untuk membeli makanan pokok (sembako), kebutuhan lain seperti sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan akan terabaikan. Berdasarkan kecukupan kalori BPS dan harga beras saat ini sebesar Rp. 5000 per liter (petani kita rata-rata net consumer), dalam satu rumah tangga petani (4 orang) minimal harus mempunyai pendapatan sebesar Rp 26400 per hari. Sedangkan pendapatan real petani (dengan 1 hektar lahan) dari hasil produksi beras adalah sebesar Rp.17500 per hari per keluarga tani (dengan harga GKP sebesar Rp. 2200). Ini jelas tidak mencukupi angka kebutuhan kalori.
Meskipun pernah menerapkan revolusi hijau di bidang pertanian, indonesia kurang mendapat manfaat dari gebrakan ekonomi orde baru itu. Penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur, justru, telah membawa petani Indonesia ketergantungan terhadap korporasi besar. Monsanto merupakan perusahaan yang meraup keuntungan dari penggunaan pestisida yang merusak kesuburan tanah dan varietas genetika yang malah merugikan petani. Revolusi hijau sukses membawa Indonesia berswasembada pangan selama 5 tahun. Setelah itu, Indonesia terperosok dalam daftar 10 negara pengimpor beras, tepung, dan kedelai.
Masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO tahun 1995 dan tunduk dalam LoI IMF pada tahun 1997, telah membuat liberalisasi pertanian di Indonesia berlangsung secara radikal dan lebih cepat dari yang direncanakan. Karena kesepakatan Letter Of Intent (LoI), pemerintah mencabut subsidi pertanian; subsidi pupuk, subsidi dalam bentuk kredit, dan subsidi harga dikurangi. Pada saat bersama, pemerintah menghapus kebijakan tariff dan hambatan-hambatan lain bagi perdagangan bebas. Produk dari petani Indonesia, yang sebagian besar adalah petani gurem dan tanpa proteksi negara, harus terjun bebas bertarung di pasar yang liberal, dengan produk dari petani negeri maju yang disubsidi besar-besaran oleh negaranya. Cargill dan Archer Daniels Midland dari AS, merupakan korporasi yang sangat beruntung oleh paket liberalisasi pertanian dibawah WTO tersebut.
Di Indonesia, dampak lansung dari food crisis sudah terasa sejak tahun lalu. Kenaikan harga minyak goreng dihampir semua pasar tradisional disebabkan oleh naiknya harga CPO dipasar dunia. Harga tempe di tanah air pun melonjak akibat penggunaan kedelai sebagai energi biofuel. Demikian pula dengan komoditi lainnya seperti beras dan jagung. Kendati stok pangan kita masih memadai; Target peningkatan produksi padi tahun 2008 naik 5,0 persen, jagung 20 persen, dan kedelai 20 persen. stok kedelai masih ada sekitar 300.000 ton saat ini. Akan tetapi lonjakan harga pangan global akan mempengaruhi orientasi eksportir dan korporasi yang menguasai produk pertanian Indonesia. Naiknya harga CPO, mendorong perusahaan sawit memperluas areal mereka dengan menggusur masyarakat setempat. Sekitar 14 juta hektare lahan sekarang ini digunakan untuk produksi biofuel cair, atau setara dengan 1 persen dari lahan dunia yang dapat dibudidayakan, dan ini dapat meningkat menjadi 2,5-3,8 persen tahun 2030. Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, jagung, atau bahan-bahan ethanol, akan menyebabkan penggundulan hutan. Rendahnya pendapatan yang diterima petani padi, akan mendorong mereka menjadi petani jagung atau kedele, hal ini, akan mengganggu ketahanan pangan nasional, khususnya beras sebagai makanan pokok.
Revitalisasi Pertanian Melihat kerentanan masyarakat Indonesia terpukul oleh Food Crisis, maka seharusnya pemerintah, dari jauh hari, harus mengambil langkah-langkah penyelamatan. Langkah penyelamatan dimaksud berupa tindakan-tindakan politis untuk membendung dampak kenaikan harga pangan. Kenaikan harga minyak goreng yang tidak sanggup dikendalikan pemerintah hingga sekarang, seharusnya menjadi pelajaran. Pemerintah harus merumuskan serangkaian kebijakan baru, untuk melindungi konsumen domestik dari perilaku spekulan dan eksportir yang bernafsu meraup untung besar. Langkah pertama, pemerintah secepatnya menaikkan pajak ekspor komoditi pangan, disertai ultimatum kepada produsen dan korporasi makanan yang mengontrol pangan dalam negeri, untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestik. Langkah seperti ini sudah dilakukan oleh pemerintah Thailand dan Vietnam untuk menjaga ketahanan berasnya. Langkah kedua, melakukan pengontrolan terhadap perdagangan umum; pemerintah harus membatalkan semua perjanjian-perjanjian liberalisasi perdagangan dengan WTO. Langkah ketiga, pemerintah harus berani memberikan subsidi untuk menjaga kestabilan harga pangan, dan menyediakan anggaran yang besar untuk subsidi rakyat miskin. Anggaran bisa diperoleh dari penghapusan utang luar negeri, menarik surat obligasi perbankan, dan atau mengintensifkan pemberantasan korupsi dan pengejaran harta koruptor. Keempat, pemerintah harus mengembalikan fungsi BULOG sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan nasional. Langkah Bank Dunia lewat World Food Programme, untuk memberantas kelaparan dengan memberikan 700 juta USD tidak akan efektif kalau tidak bersentuhan dengan pemberdayaan petani skala kecil dinegara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Di bidang pertanian, pemerintah harus melepaskan sektor pertanian dari kunkungan WTO dan doktrin perdagangan bebas. Keberhasilan Kuba dan Venezuela keluar dari ancaman krisis mengerikan ini, tidak lepas dari strategi pembangunan pertanian yang mandiri dan berkerakyatan; Cuba mempraktekkan organic farming. Pemerintah semestinya menyediakan basis pertanian modern yang kuat dengan memberikan modal dan tekhnologi bagi petani, disamping itu membangun infrastruktur dan industri pengolahan hasil pertanian. Pembangunan basis pertanian modern dimulai dengan pemberdayaan petani gurem yang merupakan mayoritas petani gurem yang meliputi 56,52 rumah tangga kaum tani. Mengikuti pendapat Amartya Zen, Seorang ekonom India, menurutnya kemiskinan terjadi karena ketidakadaan demokrasi. Jadi, dalam pembangunan pertanian Indonesia, kaum tani sudah semestinya ditampilkan sebagai subjek, bukan lagi hanya sebagai objek. Slogan “kedaulatan pangan—pangan untuk semua” bermakna pemberdayaan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, dimana kaum tani terlibat menentukan jenis varietas yang cocok, target produksi, dan proses distribusi.
|
|
0 Comments: |
|
|
|
|
|
|