Thursday, January 29, 2009 |
Social Forum activists see opportunity in crisis
|
BELEM, Brazil — Activists at the World Social Forum said Wednesday the global financial crisis is opening a window for their calls for an alternative to capitalism to be heard, though their preferred alternative remains hazy.
Under a brutal sun made even hotter by the humid Amazon air, Tran Dac Loi of Vietnam said the meltdown proves that rich nations and powerful corporations do not have all the answers.
"The crisis shows the deadlock in this capitalist model of development, a purely profit-driven system that benefits only a few," said Tran, vice president of the Vietnam Peace and Development Foundation. "It is time to search for alternative ways of development that put human beings at the center."
There seemed to be little outright gloating among the roughly 100,000 people at the Social Forum, held annually since 2001 to counter the World Economic Forum that opened this week in Davos, Switzerland.
Yet activists said the crisis makes more people open to their criticism of pure global capitalism.
"People are tired of listening to us, tired of listening to the left's complaints, but now they have to hear us," said Ellen Pereira Carvalho, an 18-year-old Brazilian handing out fliers at the kiosk for the Movement for Direct Democracy.
"I'm just a young student," she added, as Indians played traditional music on a large stage at a local university. "I may not have the answers, but at least I am looking. I think the crisis, though, is making more people sensitive to our message."
Thursday will see the presidents of Brazil, Venezuela, Bolivia and Ecuador meet at the forum — the first time so many leaders will be in attendance — an indication, organizers said, of the forum's newfound importance.
Some acknowledged, however, a frequent criticism of the Social Forum: that there is no cohesive message, that attendees complain about problems and allege conspiracies while offering few concrete fixes.
"All of us who work on social justice are great at identifying problems, but at finding the solutions, we need to work a little harder," said Priiti Darooka of New Delhi, executive director of the India-based Program on Women's Economic, Social and Cultural Rights.
The contrast of the jungle heat and hippie fashion at Belem with the cold wind, snowy peaks and business suits at Davos mirrored the ideological gulf between the two gatherings.
"The systems formulated in Davos are collapsing, disintegrating and beginning to rot. So there has been this clearing away, this brush fire within the financial system that has been built over the last 100 years," said Tony Kenny, an artist from Dublin, Ireland. - AP
|
|
|
Sunday, January 11, 2009 |
Putaran Doha tidak akan Mencegah Krisis Pangan
|
“Putaran Doha tidak akan Mencegah Krisis Pangan“
Demikian kesimpulan Pelapor Khusus PBB (UN Special Rapporteur) Prof Olivier De Schutter dalam penelitian awal dari laporan yang disusunnya mengenai pemenuhan untuk Hak atas Pangan. Prof. De Schutter mengatakan bahwa WTO (Organisasi Perdagangan Dunia – World Trade Organisation) tidak akan mencegah krisis pangan. Karena itu dia menyerukan negara-negara anggota untuk hanya menerima keputusan-keputusan di bawah kerangka WTO yang sesuai dengan hak mereka untuk memenuhi kewajiban atas pangan. Ahli hak azasi tersebut mengatakan bahwa negara-negara harus menentukan posisi-posisinya dalam perundingan perdagangan yang sesuai dengan strategi nasional untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya dan selalu melakukan kajian hak asasi manusia pada perjanjian-perjanjian perdagangan.
Dalam presentasinya di depan media di kantor PBB di Jenewa ketika perundingan rutin di WTO sedang dilakukan Desember lalu, ahli independen tersebut mengatakan, sampai sekarang, perjanjian perdagangan telah gagal untuk mengatasi kelaparan di dunia.
Dia menunjuk masih ada 963 juta orang yang keleparan di dunia. Jumlah itu telah bertambah sebanyak 100 juta pada tahun 2006 akibat krisis pangan global. Sebelumnya pada tahun 2005 terdapat 852 juta orang yang kelaparan.
Prof. De Schutter mengatakan saat ini ada semacam konsensus bahwa kita tidak sukses memastikan bahwa perdagangan bekerja untuk pembangunan dan bisa memerangi kemiskinan. Dia mencatat, bahwa ada semacam keyakinan “ kita belum cukup jauh berjalan, kita harus lebih banyak menghilangkan mekanisme perdagangan yang mendistorsi, menghilangkan sebagian besar subsisi dan kita harus memperbaiki akses pasar untuk negara berkembang”.
Pelapor khusus PBB juga mengkritik kebijakan pertanian yang berlangsung di negara-negara maju di OECD (organisasi negara-negara maju). “kita semua tahu, dampak yang sangat buruk terjadi di pertanian negara-negara berkembang akibat skema subsidi dan dukungan domestic di negara-negara OECD. Kita tahu ini adalah masalah serius yang harus diatasi dan masih banyaknya hambatan tariff dan non tariff yang menghalangi negara berkembang mendapatkan keuntungan dari perdagangan produk-produk mereka.
Dia menekankan bahwa implementasi yang lebih jauh dari program reformasi, “didasarkan atas ilusi bahwa dengan menghilangkan distorsi, kita akan mencapai level yang sama”.
“Itu tidak benar, kata Prof. De Schutter. Bahkan tanpa subsidi di negara-negara maju, produktivitas di negara maju dan negara berkembang, sangat berbeda, dan itu perlu menjadi perhatian”. Kecuali di negara anggota Cairns Group (kelompok negara eksportir pertanian seperti Australia dan Selandia Baru) dimana mereka telah mempersiapkan diri dan memiliki keunggulan kompetitif di pertanian.
Di tahun 2006, produktifitas tenaga kerja di negara kurang terkembang (LDCs) hanya 46 persen dari produkstifitas tenaga kerja di negara berkembang dan, kurang dari 1 persen dari negara maju.
Dalam konteks ini, ide untuk meningkatkan ‘lapangan permainan yang sama’ tidak berarti, demikian dalam ditulis dalam laporan. Ditambahkan, dengan memperdalam liberalisasi perdagangan tidak akan menjadikan petani di negara-negara berkembang dapat berkompetisi dengan level yang sama dengan negara maju, kecuali upah dan harga produk pertanian di negara-negara Selatan ditekan rendah sekali untuk mengkompensasi rendahnya produktifitas per tenaga kerja.
Inilah alasan yang menjustifikasi perlakuan berbeda dan khusus untuk negara berkembang, demikian kata Prof. De Schutter. Pesan inti yang ingin disampaikan dalam laporan Pelapor Khusus PBB adalah perdagangan bukanlah pengganti dari pengembangan kapasitas dari setiap negara untuk memberi makan populasi warganya.
Laporan tersebut berpendapat bahwa jika perdagangan bekerja untuk pembangunan dan berkontribusi pada realisasi hak atas kecukupan pangan, maka perlu untuk mengakui kekhususan masing-masing produk pertanian dan tidak menyamakan seperti komoditas lainnya. Serta, memperbolehkan fleksibilitas kepada negera –negara berkmebang, untuk melindungi produsen pertanian mereka dari kompetisi dari negara yang petaninya sudah maju. ”kita seharusnya tidak percaya bahwa perdagangan internasional akan mencapai keamanan pangan dengan cara yang berkelanjutan”, demikian dikatakan oleh De Schutter.
Laporan pelapor khusus ini mengkaji liberalisasi perdagangan di sector pertanian dari persektif hak azasi untuk mendapatkan kecukupan pangan, seperti yang diakui dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia dan Kovenan Internasional dalam Hak ekonomi, Sosial dan Kultural. Ini memiliki empat implikasi, demikian kata De Schuter:
Pertama, proses liberalisasi mengharuskan negara memerlukan strategi nasional untuk pelaksanaan hak atas pangan, dimana peran dari perdagangan harus ditentukan dengan mengacu pada hak azasi manusia dan tujuan pembangunan.
Kedua, ini juga menekankan perlunya sistem perdagangan multilateral yang kolaboratif, dan tidak memaksa komitmen negara yang bertentangan dengan kewajiban pemenuhan hak azasi, dan karenanya menekankan pentingnya negera memilliki ruang kebijakan yang cukup.
Ketiga, menurut laporan tersebut, perspektif hak untuk mendapatkan pangan, memerlukan perubahan pengukuran yang saat ini cenderung abstrak (seperti nilai pendapatan bersih brutto atau GDP) menjadi ke arah yang lebih memfokuskan pada kerentanan dan ketidaktahanan pangan.
Keempat, laporan pelapor khusus mengingatkan nilai khusus mengenai pangan yang aman, bergizi, secara budaya layak dan pangan yang berkelanjutan sebagai hak dasar bagi semua, Karenanya, dampak pada kesehatan nutrisi dan lingkungan seharusnya menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan diskusi mengenai perdagangan.
Memisahkan diskusi antara dampak perjanjian WTO dari factor faktor yang melemahkan kapasitas negara dalam mengimplementasikan kewajiban hak azasi manusia merupakan merupakan hal yang tidak mungkin, karena aturan yang diterapkan di bawah perjanjian pertanian akan memberikan dampak kombinasi di perdagangan, fiskal dan kebijakan sosial di tingkat domestik.
Laporan tersebut dihasilkan dari ahli independent yang melakukan konsultasi dari berbagai sector termasuk para dutabesar perwakilan negara-negara anggota WTO. Ini juga pertama kali WTO menerima permintaan dari Pelapor Khusus untuk melakukan misi menilai perjanjian pertanian dari perspketif hak azasi manusia.
Misi Prof. Olivier De Schutter ke WTO telah membawanya ke diskusi kontroversial seperti mekanisme pengaman khusus (special safeguard mechanisms) dan ‘kekhususan’ produk-produk pertanian yang menjadi kunci dan perdebatan dalam perundingan pertanian dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam laporan tersebut, aturan pengamanan (safeguard) dalam perdagangan pertanian adalah krusial. Negara khususnya negara berkembang sesuai dengan prinsip perlakuan khusus dan berbeda, harus mendapatkan kebebasan untuk menetapkan aturan yang melindungi pasar domestik dari kerentanan harga pasar internasional.
Meskipun hanya sekitar 15 persen dari seluruh pangan yang diproduksi diperdagangkan, harga di pasar internasional memiliki dampak pada petani di dunia untuk mendapatkan hidup yang layak. Dan, sekarang ada kecenderungan kesamaan harga di tingkat domestic dan harga internasional, akibat dari liberalisasi perdagangan.
Kecuali dan sampai ada mekanisme yang cukup telah beroperasi di level internasional untuk mengatasi masalah volatilitas harga, sangat penting bagi negara untuk memiliki fleksibilitas penuh untuk melindungi pasarnya dari banjir impor. Skema manajemen suplai dan mekanisme pemasaran yang terarah memiliki peran dalam hal ini.
Pelapor Khusus menggarisbawahi pentingnya konsultasi yang terlibat dan terbuka. Misalnya disebutkan, dengar pendapat dengan parlemen nasional. Organisasi petani akan memainkan peran penting dalam menrancang strategi nasional hak atas pangan, dan strategi tersebut akan mencakup lebih luas dari konteks isu WTO, sebagai dukungan bagi posisi pemerintah dalam berdiskusi dengan lembaga keuangan itnernasional, dengan negara dan lembaga donor serta dalam perundingan bilateral.
De Schuter menyarankan, Negara seharusnya menghindari ketergantungan yang berlebihan dalam perdagangan internasional untuk memenuhi ketahanan pangan. Dalam membangun kapasitas produksi pangan yang dibutuhkan untuk memenuhi konsumsi, negara harus mendukung Petani-petani skala kecil.
Karena di seluruh negara-negara berkembang, pertanian merupakan penyumbang setengah dari angkatan kerja. Di negara yang kurang berkembang, pertanian bahkan menyumbang 70 persen angkatan kerja, Sehingga pemenuhan hak atas pangan tidak punya alternative kecuali memperkuat sector pertanian dengan tekanan pada Petani skala kecil.
Salah satu fakta yang diajukan oleh Prof. De Schuter adalah ketidakseimbangan dalam rejim perdagangan saat ini dimana, pembatasan dilakukan di tingkat negara, tidak berlaku untuk perusahaan transnasional. Sehingga perusahaan justru memproleh kebabasan yang lebih banyak, serta tidak menjadi subyek dari kewajiban apapun berkaitan dengan kekuasaaan yang berlebihan di pasar internasional.
Pelapor Khusus ini secara resmi akan memberikan presentasi temuan-temuannya pada Maret 2009 dalam sessi Dewan Hak Azasi Manusia di Jenewa.
———————————–
Diterjemahkan oleh Luthfiyah Hanim
Sumber: Doha Round will not prevent another food crisis oleh Kanaga Raja, dari South-North Development Monitor (SUNS) #6614, 19 Desember 2008.
Laporan lengkap dari Prof. Prof Olivier De Schutter yang berjudul Building Resilience : A Human Rights Framework for World Food and Nutrition Security (A/HCR/9/23) bisa diunduh dari situs : http://ap.ohchr.org/documents/dpage_e.aspx?m=101 atau http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/G08/155/08/PDF/G0815508.pdf?OpenElement
|
|
|
|
HAM, Hak Asasi Manusia, Apa dan Bagaimana? (2)
|
Oleh: Yoseph Tugio Taher
"Berhubung adanya permintaan pemuatan kembali teks Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia secara keseluruhan, maka di bawah ini disajikan dokumen penting tersebut selengkapnya. Semoga pemuatannya kembali memudahkan bagi mereka yang ingin menyimpannya sebagai bahan dokumentasi dan referensi dalam perjuangan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia di bumi Indonesia, yang setelah mengalami masa gelap selama 32 tahun, sekarang ini masih sedang terus bersama-sama melawan bahaya laten Orde Baru" demikian kata pembukaan yang diberikan oleh A.Umar Said pengelola situs http://kontak.club.fr/index.htm), yang menterjemahkan TEKS LENGKAP DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA dari teks asli bahasa Inggris dan dibandingkan dengan teks bahasa Perancis, dalam musim panas, 25 Juli 2000 di Paris, yang dengan izinnya, kini kita kutip di bawah ini.
Penulis akan berterima kasih apabila pembaca, siapapun adanya, mengcopy artikel ini buat menjadi pegangan ataupun simpanan pribadi masing-masing, sebagai "bahan dokumentasi dan referensi dalam perjuangan untuk menegakkan Hak Asasi Manusia di bumi Indonesia" dan supaya setiap individu dan semua badan dalam masyarakat selalu memegang, menghormati dan menerapkan Deklarasi Universal ini secara nyata. Dan jangan menggunakan HAM hanya untuk keuntungan diri sendiri, seperti kata pepatah Indonesia: " Tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempiskan". Semoga HAM yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa 60 tahun yang lalu dan diakui oleh Pemerintah Indonesia ini benar-benar dilaksanakan dan bermanfaat bagi seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.
TEKS LENGKAP DEKLARASI UNIVERSAL HAK ASASI MANUSIA
MUKADIMAH (preamble)
Mengingat, bahwa penghargaan terhadap martabat (dignity) dan hak-hak yang setara dan tak terpisahkan (equal and inalienable rights) bagi semua anggota keluarga umat manusia (human family) adalah dasar bagi kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia,
Mengingat, bahwa pengingkaran dan pelecehan (disregard and contempt) terhadap hak manusia telah menyebabkan terjadinya tindakan-tindakan biadab yang telah menimbulkan kemarahan kesedaran umat manusia, dan bahwa munculnya dunia di mana ummat manusia dapat menikmati kebebasan untuk berbicara dan menganut kepercayaan (freedom of speech and belief) dan kebebasan dari ketakutan dan kekurangan (kemiskinan) telah diproklamasikan sebagai aspirasi bagi semua orang,
Mengingat, bahwa hak-hak manusia perlu sekali dilindungi oleh tegaknya hukum (protected by the rule of law), supaya orang tidak dipaksa, sebagai jalan terakhir, untuk membrontak terhadap tirani dan penindasan, Mengingat, bahwa adalah sangat perlu untuk mendorong penggalangan hubungan bersahabat antara bangsa-bangsa,
Mengingat, bahwa rakyat-rakyat yang tergabung dalam PBB telah menegaskan dalam piagam ini kepercayaan mereka terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan nilai-nilai perseorangan manusia (dignity and worth of the human person) dan hak-hak yang sama antara laki-laki dan perempuan, dan juga bertekad untuk mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar (to promote social progress and better standards of life in larger freedom),
Mengingat, bahwa negara-negara anggota PBB berjanji untuk mengusahakan dihormatinya dan ditrapkannya secara universal dan nyata hak-hak manusia dan kebebasan fondamental,
Mengingat, bahwa kesamaan pengertian (common understanding) mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini (rights and freedoms) adalah sangat penting bagi pelaksaan piagam ini secara sepenuhnya,
Maka, Sidang Umum (PBB) memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai cita-cita bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa (all peoples and all nations) supaya setiap individu (orang seorang) dan semua badan dalam masyarakat (every organ of society), dengan selalu memegang Deklarasi Universal ini dalam ingatan, berusaha lewat pengajaran dan pendidikan, untuk mendorong dihormatinya hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini, dan juga lewat peraturan yang secara berangsur-angsur, baik secara nasional mau pun internasional, untuk mendapat pengakuannya dan pentrapannya secara universal dan nyata, baik antara rakyat-rakyat negara-anggota (PBB) sendiri, mau pun antara rakyat dalam wilayah juridiksinya (teks Mukadimah habis).
Artikel 1 Semua mahluk manusia dilahirkan secara bebas dan memiliki martabat dan hak yang sama. Mereka mempunyai kenalaran (reason) dan kesedaran (conscience) dan kewajiban untuk bertindak antara yang satu dan lainnya dalam semangat persaudaraan (in a spirit of brotherhood)..
Artikel 2 Semua orang berhak untuk memiliki hak dan kebebasan seperti yang dicantumkan dalam Deklarasi ini, tanpa perbedaan apa pun dalam hal ras, warna kulit, kelamin, bahasa, agama, opini politik atau pun opini lainnya, asal kebangsaan atau asal sosial, perbedaan kekayaan, kelahiran atau status lainnya.
Lebih lagi, tidak diperbolehkan adanya pembedaan (no distinction shall be made) yang didasarkan atas status politik, juridis atau international negara atau teritori (wilayah) di mana ia menjadi warganegaranya, tanpa mempedulikan apakah negara itu merdeka, di bawah pengawasan, tidak otonom atau berada dalam kedaulatan yang terbatas.
Artikel 3 Semua individu berhak untuk hidup, untuk menikmati kebebasan dan keamanan bagi pribadinya
Artikel 4 Tidak seorangpun boleh diperlakukan dalam perbudakan (slavery) atau dalam perhambaan (servitude) dan perdagangan budak (slave trade) dilarang dalam segala bentuknya.
Artikel 5 Tidak seorang pun boleh disiksa (torture) atau mendapat hukuman dan perlakuan yang kejam, tidak berperikemanusiaan dan merendahkan martabat manusia (cruel, inhuman or degrading treatment).
Artikel 6 Dimana pun, semua orang berhak untuk mendapat pengakuan sebagai seseorang di depan hukum (recognition everywhere as a person before the law).
Artikel 7 Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, dan tanpa kecuali berhak untuk mendapat perlindungan hukum yang sama. Semua orang berhak untuk mendapat perlindungan terhadap diskriminasi apa pun yang melanggar Deklarasi ini dan juga terhadap semua hasutan yang menganjurkan diskriminasi itu (against any incitement to such discrimination).
Artikel 8 Setiap orang berhak untuk mengadukan kepada pengadilan nasional yang kompeten semua pelanggaran terhadap hak asasinya yang dijamin oleh Konstitusi atau undang-undang.
Artikel 9 Seorang pun tidak boleh secara sewenang-wenang ditangkap, ditahan atau di-exilkan (arbitrary arrest, detention or exile).
Artikel 10 Semua orang berhak, dalam kedudukan yang sama, untuk menuntut agar urusannya bisa diperiksa secara adil dan secara terbuka oleh pengadilan yang bebas dan imparsial (tidak memihak) untuk menentukan hak dan kewajibannya, atau memeriksa semua dakwaan pelanggaran kriminal (any criminal charge) yang ditujukan kepadanya.
Artikel 11 1. Setiap orang yang dituduh melakukan tindakan pidana haruslah dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya itu bisa dibuktikan secara hukum oleh pengadilan terbuka di mana ia mempunyai semua jaminan yang dibutuhkan bagi pembelaannya (all the guarantees necessary for his defence). 2. Tidak seorang pun boleh dihukum akibat suatu tindakan atau ketidaksengajaan (kealpaan, omission) yang pada waktu kejadian itu, menurut hukum nasional atau internasional, tidaklah merupakan tindakan pidana. Demikian juga, hukuman yang lebih berat tidak boleh dijatuhkan ketimbang hukuman yang berlaku pada waktu pelanggaran itu diperbuat.
Artikel 12 Tidak seorangpun boleh secara sewenang-wenang diganggu (arbitrary interference with his privacy) kehidupan pribadinya, keluarganya, rumah tinggalnya atau surat-menyuratnya, dan dilanggar kehormatannya atau nama-baiknya (reputation). Semua orang mempunyai hak atas perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran semacam itu.
Artikel 13 1. Di dalam wilayah suatu negeri, semua orang berhak untuk bersikulasi secara bebas (freedom of movement) atau menentukan tempat tinggal menurut pilihannya. 2. Semua orang berhak untuk meninggalkan setiap negeri, termasuk negerinya sendiri dan untuk kembali kenegerinya sendiri (to leave any country, including his own, and to return to his country).
Artikel 14 1. Menghadapi suatu persekusi, semua orang berhak untuk mencari tempat perlindungan (asylum) dan mendapatkan asylum dari negeri lain. 2. Hak ini tidak boleh dituntut dalam hal pengusutan terhadap kejahatan yang benar-benar berdasar kriminal (non-political crimes) atau terhadap tindakan- tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip PBB.
Artikel 15 1. Semua orang mempunyai hak atas kewarganegaraan (nationality) 2. Tidak seorangpun bisa dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang, atau dilarang haknya untuk merobah kewarnegaraannya.
Artikel 16 1. Semua orang, laki-laki maupun perempuan dewasa, tanpa pembatasan ras, kebangsaan atau agama, berhak untuk kawin dan membentuk rumahtangga. Mereka mempunyai hak yang sama mengenai masalah perkawinan, selama perkawinan dan ketika perceraian. 2. Perkawinan hanyalah dapat dilaksanakan dengan persetujuan bebas dan penuh (free and full consent) antara calon suami-istri. 3. Keluarga adalah kelompok (group unit) masyarakat yang alamiah dan fondamental dan berhak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara.
Artikel 17 1. Semua orang berhak memiliki harta-benda, baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama (in association with others). 2. Tidak seorangpun boleh dirampas harta-bendanya secara sewenang-wenang.
Artikel 18 Semua orang berhak untuk mempunyai kebebasan fikiran, keyakinan dan agama (freedom of thought, conscience and religion). Hak ini mencakup kebebasan untuk mengganti agama atau kepercayaannya, dan kebebasan untuk secara sendirian atau bersama-sama dengan orang lain, baik di depan umum maupun di tempat tersendiri (private) memanifestasikan agamanya atau kepercayaannya lewat pendidikan, praktek, sembahyang dan upacara (worship and observance).
Artikel 19 Semua orang mempunyai hak atas kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat (the right to freedom of opinion and expression); hak ini mencakup kebebasan untuk mempunyai pendapat tanpa mendapat gangguan (to hold opinions without interference) dan kebebasan untuk mencari, memperoleh dan menyebarkan informasi dan gagasan (to seek, receive and impart information and ideas), lewat media yang manapun dan tanpa memandang perbatasan negara.
Artikel 20 1. Semua orang mempunyai hak untuk menyelenggarakan rapat atau perkumpulan yang bertujuan damai ((peaceful assembly and association). 2. Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk menjadi anggota sesuatu perkumpulan.
Artikel 21 1. Semua orang berhak untuk ambil bagian dalam pemerintahan negerinya, secara langsung atau lewat perwakilannya yang dipilih secara bebas. 2. Setiap orang berhak untuk mendapat akses yang sama pada jabatan pemerintahan negerinya (equal acces to public service in his country). 3. Kehendak rakyat haruslah menjadi landasan bagi otoritas pemerintah: kehendak rakyat ini haruslah dinyatakan oleh pemilihan umum secara periodik dan jujur, lewat pemungutan suara secara universal dan setara (by universal and equal suffrage) dan diselenggarakan dengan suara rahasia (by secret vote) atau dengan prosedur pemungutan suara secara bebas lainnya
Artikel 22 Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, mempunyai hak jaminan sosial (his right to social security), dan mendapat bagian dari realisasi, lewat usaha nasional dan kerjasama internasional dan sesuai dengan pengaturan dan kemampuan setiap negaranya, atas hak ekonomi, sosial dan kebudayaan yang sangat dibutuhkan bagi martabatnya dan pengembangan kepribadiannya secara bebas (indispensable for his dignity and the free development of his personality).
Artikel 23 1. Setiap orang mempunyai hak untuk bekerja, untuk menentukan pilihan pekerjaannya secara bebas, untuk bekerja dengan syarat-syarat yang adil dan mendapat perlindungan dari bahaya pengangguran. 2. Setiap orang, tanpa diskriminasi apa pun, berhak untuk menerima upah yang sama untuk pekerjaan yang sama. 3. Setiap orang yang bekerja mempunyai hak untuk menerima upah yang adil dan menguntungkan untuk memberikan jaminan baginya sendiri dan keluarganya atas kehidupan yang sesuai dengan martabat manusia, dan ditambah, kalau perlu, dengan cara-cara proteksi sosial lainnya. 4. Setiap orang mempunyai hak untuk membentuk serikat-buruh atau bergabung di dalamnya (to form and to join trade unions) demi melindungi kepentingannya.
Artikel 24 Setiap orang mempunyai hak untuk mendapat istirahat dan hiburan, termasuk dibatasinya jam kerja dan mendapat hari libur yang dibayar, menurut batas-batas yang masuk akal.
Artikel 25 1. Setiap orang mempunyai hak atas standar hidup yang memadai bagi kesehatan dirinya dan keluarganya, termasuk makan, pakaian, perumahan, pengobatan, dan pelayanan sosial, dan atas jaminan dalam menghadapi pengangguran, sakit, cacad, kematian suami atau istri (widowhood), hari-tua, atau menghadapi situasi kehidupan sulit yang di luar kemauannya. 2. Masa keibuan (motherhood) dan masa kekanakan (childhood) berhak untuk mendapatkan pertolongan dan bantuan khusus. Semua anak yang lahir, baik yang lahir dalam perkawinan atau di luarnya, harus menerima proteksi sosial yang sama (same social protection).
Artikel 26 1. Setiap orang mempunyai hak atas pendidikan. Pendidikan haruslah bebas beaya, setidak- tidaknya bagi pendidikan tahap elementer (elementary stage) dan dasar. Pendidikan dasar haruslah wajib. Pendidikan teknik dan kejuruan (professional) haruslah tersedia untuk umum dan pendidikan tinggi harus terbuka bagi semua dengan hak yang sama berdasarkan merit masing-masing. 2. Pendidikan harus diarahkan untuk pengembangan sepenuhnya kepribadian seseorang sebagai manusia (full development of the human personality) dan untuk memperkokoh dihargainya hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dasar (fundamental freedoms). Pendidikan ini harus mempromosikan saling pengertian, toleransi dan persahabatan antara semua bangsa, grup sosial atau agama, dan memperkuat aktivitas PBB untuk mempertahankan perdamaian. 3. Orang tua anak mempunyai hak yang utama (prior right) untuk memilih jenis pendidikan yang harus diberikan kepada anak mereka.
Artikel 27 1. Setiap orang berhak untuk berpartisipasi secara bebas dalam kehidupan kebudayaan masyarakatnya, menikmati kesenian dan memperoleh bagian dari kemajuan ilmu beserta hasil-hasilnya. 2. Setiap orang mempunyai hak untuk mendapat perlindungan atas kepentingan moral atau material yang dilahirkan oleh produk ilmiah, literer atau artistik yang diciptakannya.
Artikel 28 Setiap orang mempunyai hak atas adanya orde sosial dan internasional, di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dicantumkan dalam Deklarasi ini dapat direalisasi secara sepenuhnya.
Artikel 29 1. Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya di mana dimungkinkan pengembangan kepribadiannya secara bebas dan sepenuhnya. 2. Dalam mempertahankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus dikenakan pembatasan oleh undang-undang yang tujuannya adalah semata-mata untuk mengakui dan menghormati secara selayaknya hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan moral, ketertiban umum dan kesejahteraan bersama dalam suatu masyarakat demokratis. 3. Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini tidak dapat, bagaimana pun juga, dijalankan secara berlawanan dengan tujuan dan prinsip-prinsip PBB.
Artikel 30 Tidak ada satu pun bagian Deklarasi ini bisa diartikan oleh suatu negara, grup atau perseorangan, sebagai hak untuk melakukan kegiatan apa pun atau melancarkan tindakan apa pun yang bertujuan untuk menghancurkan semua hak-hak dan kebebasan yang dicantumkan di dalamnya. (Teks dokumen habis di sini) (***) 11-January 2009
|
|
|
Saturday, September 13, 2008 |
Putting a price tag on poverty
|
banglapraxis September 4, 2008 Tanim Ahmed*
Poverty is not merely a bundle of economic goods with price tags upon them. It is not merely so much rice, so many pencils or paracetamol. It arises out of the lack of one's ability to effectively participate in social life or the lack of one's voice in political representation. It arises from one's sense of insecurity. It arises from the desperation and frustration of not being able to provide for one's children. It arises from the sense that one is deprived of the opportunities to live a better, or in this case, a more human life.
TO BEGIN with an oversimplified example, let us assume that human well-being is measured by their ability to pay for haircuts – the more haircuts one is able to pay for the better off one is. A haircut would cost around $10 in New York and about Tk 20 in Dhaka. It would mean that two persons with the same earning, for instance $10 or Tk 700 per day, would have distinctly different purchasing powers. One would be able to pay for one haircut while the other 35. Since haircuts are the basis of well-being, the Bangladeshi would be 35 times better off than the American. Needless to say, it does not work out that way.
Well-being does not depend on the number of haircuts but a host of other more essential services and commodities. Services, as one would find in the case of haircuts, boot polishing or plumbing, are comparatively far costlier in developed countries than they are in poor countries like Bangladesh, especially when compared to the proportional differences in prices of other commodities like food and clothing. In other words, between rich and poor countries, prices of commodities vary less than those of services, i.e. purchasing power would not vary as much in case of those commodities as it would for services in the United States and Bangladesh.
Before even going into the latest poverty figures released by the World Bank on August 26 and what it implies, one must first question the benchmark for poverty expressed in purchasing capacity called Purchasing Power Parity. The much popular 'dollar a day' was expressed in this purchasing capacity terms across the world and meant to be equivalent to the purchasing capacity of $1 in the United States – the base country – in 1985, changed to $1.03 in 1993 and, according to the latest study, $1.25 in 2005. The question is what the equivalent of $1.25 in takas meant to purchase.
The bundle of choice for households or individuals in dire poverty would be distinctly different from those better off. The poor spend a high proportion of their income on basic needs whereas those better off spend a lesser proportion on such items with a substantial portion of their incomes purchasing services. But such benchmarks are derived from national accounts and a more general pattern of consumption in different countries. There are two obvious problems here. Even in Bangladesh's case, although services contribute about half the GDP consumption pattern of individuals or households living in poverty would hardly reflect such a trend. Secondly, the poor buy commodities in much small quantities that would naturally mean that they end up paying more in the long run – buying a few hundred milligrams of cooking oil instead of a five-litre pack for instance.
Another recent study by the Asian Development Bank strives to capture that precise difference attempting to arrive at a more balanced poverty benchmark for Asia. It shows that the bottom 30 per cent of the Bangladeshi population spend 65.6 per cent of their household expenditure on food and drink while the average household spends just over half. In purchase power terms $1 dollar translates into about Tk 14 according to general consumption patterns but it is about Tk 25 according to household consumption patters. What it means is that the poverty benchmark translates into a higher purchasing power when considered on the basis of general consumption but far lower when considered on the basis of household consumption. When Tk 14 is considered equivalent to the 'dollar a day' benchmark, it means that an individual would be able to procure enough commodities and services to escape poverty spending Tk 14 every day. In the other case it would mean that the individual requirement to escape poverty would be Tk 25.
The two figures could make substantial difference as regards the number and percentage of poor people in Bangladesh and challenge the government's claimed progress in poverty reduction, especially in the context of Millennium Development Goals. It is not that attainment of these UN development goals would mean substantial improvement in the economic system that inherently breeds poverty, but the new statistics and benchmarks would certainly cause governments to revise their statistics and review their supposed progress based on this new information.
A new working paper from the World Bank, 'The Developing World Is Poorer Than We Thought, But No Less Successful in the Fight against Poverty' , by two of its economists, Shaohua Chen and Martin Ravallion, revised the previous poverty benchmark to the equivalent of $1.25 in 2005 in the United States, instead of the $1.03 in 1993. This revision saw the number of poor people increase from about 879 million, as reported by the World Bank earlier, to almost 1.4 billion. That is a difference of over half a billion people living in extreme poverty.
As other estimates and analyses point out, revision of these benchmarks by small margins result in huge differences in the numbers and as Sanjay Reddy, an assistant professor of economics at Columbia University in the United States, points out, such a difference in result with slight changes in the benchmark would render the benchmark itself 'unfit for use' in most cases pertaining to economic statistics. According to analyses, if the benchmark is revised upwards to $1.45 in 2005, which is closer to $1.03 in 1993 in terms of prices, then the number of poor increases to 1.72 billion. If the year 2005, on the other hand, is taken back to 2003, the developing world's poverty reduction rate shows substantial deterioration so as not to favour the claim made in the World Bank paper.
Then, of course, there is the factor of China and India that skews the overall poverty figures substantially and make allowances for the claim of having attained substantial poverty reduction, although sub-Saharan Africa's number of poor have increased by all estimates. The Asian Development Bank's set the poverty benchmark at an equivalent of $1.35 in 2005 in purchasing power, which according to the Key Indictors of the Asia and the Pacific 2008 is Tk 22.64 in 2005.
The general contention of most critical analyses regarding the World Bank's poverty estimates is that it undercounts poverty and thereby projects a rosier picture of poverty. Critics, therefore, make the claim that poverty estimates should be made in a more inclusive manner taking into consideration a wider variety of data to make it more robust and acceptable.
Another point that must be made is that the global context has gone through significant transformation in the past two years with fuel and food prices rising phenomenally and inflation increasing markedly. During this time currencies have seen their purchasing power decrease and cost of living rise. In the case of Bangladesh, these months have also seen a perceptible increase in employment that could only mean further decrease of real wages.
Regardless of all the analyses and estimates and regardless of the robustness of whatever estimates are employed to ascertain poverty around the world, these estimates would necessarily concentrate on the precision of a certain bundle that should allow one to escape poverty. The central debate then would revolve around the precision of that bundle and its market price and how best to translate that value into a globally acceptable unit such as the purchasing power parity. The value of PPP dollars then would require further revision. However, this bundle would typically include 'needs' or 'necessities' that are tradable in the market; items that have a price tag to be more precise. Thus, it would include food, shelter, clothing, medicine and books but not such things as security or happiness or leisure, which should be considered as crucial when ascertaining even dire poverty.
The very proposition that an individual's degree of happiness be included as a factor for assessing dire poverty might well be summarily dismissed considering that it is a luxury that not even the rich might claim to have. Let us consider the advertisement of a Bangladeshi mobile operator that captured the imagination of many. In 'din bodlaise' – roughly meaning 'times have changed' in English – the young boy in monochrome grows up to inherit the livelihood of his forefathers who were fishermen, but does not have to sell his catch to the parasitic middleman and therefore is ostensibly better off.
That young boy in monochrome had wanted to visit the fair and by evening, after his father had sold the entire catch for a paltry sum, realised that it was not to be. The look on his father's face told him a visit to the fair was out of the question. It appears he tears himself away from the fireworks that shoot off the fairgrounds as night settles and his father tugs his hand. In the next generation that young boy, now a man, having sold his catch for a good price, takes up his young son – who has stood first in his class by the way – in his arms declaring that they would visit the fair that evening.
Poverty is not merely a bundle of economic goods with price tags upon them. It is not merely so much rice, so many pencils or paracetamol. It arises out of the lack of one's ability to effectively participate in social life or the lack of one's voice in political representation. It arises from one's sense of insecurity. It arises from the desperation and frustration of not being able to provide for one's children. It arises from the sense that one is deprived of the opportunities to live a better, or in this case, a more human life.
Agencies and organisation such as the World Bank and Asian Development Bank will continue with their exercise to attain a better estimate for poverty and demonstrate how the market works to alleviate their poverty, if only to vindicate their work and justify their existence. Critics would dissect their methodology to prove them wrong. But that entire exercise is limited to putting a price tag on poverty. However, the question for governments must be one of principle – how they regard poverty. As an institution that serves the citizens and must look towards the welfare of the common people, attainment of a price tag must not suffice.
*Tanim Ahmed: tanimahmed@gmail.com
|
|
|
Monday, September 8, 2008 |
Ada apa dibalik “Food Crisis”? dan Bagaimana Solusinya
|
Amalia Pulungan
( Artikel ini juga dimuat di globaljust.org )
“The Silent tsunami”, demikian pernyataan Jossette Sheeran dalam majalah The Economics edisi 19 april 2008. Pernyataan Sheeran mengacu pada gejala meroketnya harga-harga kebutuhan pokok (Jagung, beras, Gandum, dan kedelai), yang telah membimbing beberapa negara dunia ketiga dalam kerusuhan dan ketidakstabilan politik. Krisis pangan telah menimbulkan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dipasar internasional mencapai 70-130%. Beberapa komoditi yang naik adalah beras (74%), tepung terigu (130%), jagung (31%) , kedelai (87%) dan minyak goreng. Harga minyak goreng curah (minyak goreng eceran ) di Indonesia dari Rp 6.000 per kilo tahun lalu menjadi Rp 12-16 ribu sekarang ini. Situasi ini sungguh sangat mengkhawatirkan. Direktur Bank Dunia, Robert Zoellick memperkirakan bahwa food crisis akan mendorong 100 juta orang miskin di negara berkembang menjadi lebih miskin dan tidak dapat mengakses bahan makanan. Food Agriculture Organization (FAO) mengidentifikasi 36 negara di dunia yang rentan mengalami krisis pangan, 21 diantaranya berada di Afrika. Kerusuhan dan huru-hara meledak dimana-mana. Di Haiti, 4 warga tewas dalam aksi kerusuhan, 40 orang tertembak di Cameron dalam sebuah aksi protes kenaikan harga makanan, 200 orang ditangkap di Burkina Faso, 24 ditangkap di Senegal, ribuan petani temped dan kedelai menyerbu istana negara di Indonesia, demo pekerja di Bangladesh, dan berbagai krisis politik lainnya yang melanda berbagai negara. Keprihatinan ini membuat masyarakat inggris mengeluarkan ungkapan:” that’s their food that you burn for your car”.
Apa yang menyebabkan kenaikan harga bahan makanan sehingga melahirkan food crisis? Berbagai pengamat ekonomi dan pejabat dunia masih bersilang pendapat atas persoalan ini. Homi Kharas, seorang peneliti di Brookings Institution menyatakan bahwa kenaikan harga bahan makanan didorong oleh pertumbuhan populasi dunia dan perubahan pola konsumsi makanan. Cara pandang ini, mengingatkan kita dengan Thomas Malthus yang menganggap bahwa laju pertumbuhan penduduk tidak sebanding dengan pertambahan jumlah penduduk. Pendapat ini kurang tepat! Menurut World Hunger Education Service , sebuah NGO yang berbasis di AS, produksi agrikultur global sanggup mencukupi 17% kalori per-orang seluruh dunia, meskipun jumlah populasi meningkat. Pendapat lain justru mempersalahkan pertumbuhan ekonomi China yang spektakuler sebagai penyebab kenaikan harga. Inipun pendapat yang kurang tepat, mengingat China masuk dalam daftar pengekspor beras, gandum, dan jagung. Lagipula tingkat konsumsi seluruh populasi China adalah tiga kali lebih rendah dibanding dengan konsumsi masyarakat Eropa dan AS.
Lalu Apa penyebab sesungguhnya krisis pangan ini? Pertama, kenaikan harga minyak dunia yang melampaui 100USD/barel telah memicu kenaikan harga-harga komoditi lain. Kenaikan harga minyak menyebabkan cost produksi yang dikeluarkan petani membengkak, cara satu-satunya untuk mengatasi situasi ini adalah penyesuaian harga. Tidak adanya energi alternatif yang lebih murah membuat petani tidak bisa melepaskan fossiel fuel sebagai bahan bakar mekanisasi pertanian. Kedua, kenaikan harga-harga minyak juga telah mendorong negara-negara didunia (utamanya negara maju) beralih pada bioenergi (Bio-fuel). Tahun lalu produksi grain (biji-bijian seperti padi, jagung, gandum dll) dunia mencapai rekor tertinggi yaitu 2,1 milyar ton, naik 5 persen dari tahun sebelumnya. Dari 2,1 milyar ton, menurut organisasi pangan PBB, FAO hanya 1,1 milyar ton akan dikonsumsi. Sebagian lagi diolah menjadi biofuels. 20 juta hektar lahan pertanian AS sekarang dipakai untuk agrofuels, dan ini diikuti oleh Argetina, Canada, Uni Eropa, dan Asia. Selama 2007 diperlukan jagung sebanyak 85 juta ton (atau 25% dari jumlah keseluruhan jagung yang dipanen) diubah menjadi etanol. PBB mengatakan penggunaan 232 Kg jagung untuk 50 liter tangki mobil setara dengan memberikan makan kepada anak-anak kelaparan dalam setahun. Ketiga, melonjaknya harga-harga bahan makanan pokok telah menjadi kesempatan menggiurkan bagi spekulan. Banyak spekulan kredit perumahan mengalihkan kreditnya pada komoditi bahan makanan, menyebabkan harga bahan pangan meningkat drastic. Keempat penyebab lain dari kenaikan harga pangan adalah climate change. Meskipun tidak dominan, akan tetapi, perubahan iklim dan bencana alam telah menyebabkan kegagalan panen di berbagai negara eksportir.
Food Crisis dan Carut Marut Pertanian di Indonesia Indonesia adalah 10 besar negara pengimpor beras, tepung dan kedelai. Kendati memiliki lahan pertanian yang cukup luas, namun, strategi pertanian yang pro-liberalisasi telah memaksa Indonesia sebagai negara pengimpor. Pencabutan subsidi dan liberalisasi telah memukul produksi lokal, menyebabkan pertanian kurang produktif dan ditinggalkan. Selain itu, harus diingat bahwa hampir separuh penduduk Indonesia (49,5%) dinyatakan oleh Bank Dunia, berpendapatan dibawah 2 USD/hari. Kenaikan harga-harga bahan makanan akan memukul rakyat Indonesia yang berpendapatan sangat rendah ini. Dengan kenaikan harga bahan pokok yang berkisar 15-30%, setidaknya ada sekitar 110 juta orang Indonesia yang kesulitan mengakses bahan makanan. Kenaikan harga kedelai dari Rp 3.500 menjadi Rp 7.500, harga gula pasir dari Rp. 6.000 menjadi Rp. 8.000 perkilo, harga beras per-liter berkisar antara Rp. 5.000 sampai Rp. 6.500, cabai dari Rp 12.000 menjadi 17.600 per kg, harga telur ayam naik dari Rp 8.500 per kg menjadi Rp 9.100, begitu juga dengan harga daging ayam kampung yang naik dari Rp 45.000 menjadi Rp 47.000 per kg. Dengan pendapatan Rp. 18.000 per-hari, maka sebuah keluarga di Indonesia hanya sanggup membeli beras, minyak goreng, tempe dan gula pasir, inipun disertai jurus ”menghemat”. Kalau pendapatan sehari hanya cukup untuk membeli makanan pokok (sembako), kebutuhan lain seperti sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan akan terabaikan. Berdasarkan kecukupan kalori BPS dan harga beras saat ini sebesar Rp. 5000 per liter (petani kita rata-rata net consumer), dalam satu rumah tangga petani (4 orang) minimal harus mempunyai pendapatan sebesar Rp 26400 per hari. Sedangkan pendapatan real petani (dengan 1 hektar lahan) dari hasil produksi beras adalah sebesar Rp.17500 per hari per keluarga tani (dengan harga GKP sebesar Rp. 2200). Ini jelas tidak mencukupi angka kebutuhan kalori.
Meskipun pernah menerapkan revolusi hijau di bidang pertanian, indonesia kurang mendapat manfaat dari gebrakan ekonomi orde baru itu. Penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur, justru, telah membawa petani Indonesia ketergantungan terhadap korporasi besar. Monsanto merupakan perusahaan yang meraup keuntungan dari penggunaan pestisida yang merusak kesuburan tanah dan varietas genetika yang malah merugikan petani. Revolusi hijau sukses membawa Indonesia berswasembada pangan selama 5 tahun. Setelah itu, Indonesia terperosok dalam daftar 10 negara pengimpor beras, tepung, dan kedelai.
Masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO tahun 1995 dan tunduk dalam LoI IMF pada tahun 1997, telah membuat liberalisasi pertanian di Indonesia berlangsung secara radikal dan lebih cepat dari yang direncanakan. Karena kesepakatan Letter Of Intent (LoI), pemerintah mencabut subsidi pertanian; subsidi pupuk, subsidi dalam bentuk kredit, dan subsidi harga dikurangi. Pada saat bersama, pemerintah menghapus kebijakan tariff dan hambatan-hambatan lain bagi perdagangan bebas. Produk dari petani Indonesia, yang sebagian besar adalah petani gurem dan tanpa proteksi negara, harus terjun bebas bertarung di pasar yang liberal, dengan produk dari petani negeri maju yang disubsidi besar-besaran oleh negaranya. Cargill dan Archer Daniels Midland dari AS, merupakan korporasi yang sangat beruntung oleh paket liberalisasi pertanian dibawah WTO tersebut.
Di Indonesia, dampak lansung dari food crisis sudah terasa sejak tahun lalu. Kenaikan harga minyak goreng dihampir semua pasar tradisional disebabkan oleh naiknya harga CPO dipasar dunia. Harga tempe di tanah air pun melonjak akibat penggunaan kedelai sebagai energi biofuel. Demikian pula dengan komoditi lainnya seperti beras dan jagung. Kendati stok pangan kita masih memadai; Target peningkatan produksi padi tahun 2008 naik 5,0 persen, jagung 20 persen, dan kedelai 20 persen. stok kedelai masih ada sekitar 300.000 ton saat ini. Akan tetapi lonjakan harga pangan global akan mempengaruhi orientasi eksportir dan korporasi yang menguasai produk pertanian Indonesia. Naiknya harga CPO, mendorong perusahaan sawit memperluas areal mereka dengan menggusur masyarakat setempat. Sekitar 14 juta hektare lahan sekarang ini digunakan untuk produksi biofuel cair, atau setara dengan 1 persen dari lahan dunia yang dapat dibudidayakan, dan ini dapat meningkat menjadi 2,5-3,8 persen tahun 2030. Konversi hutan menjadi perkebunan sawit, jagung, atau bahan-bahan ethanol, akan menyebabkan penggundulan hutan. Rendahnya pendapatan yang diterima petani padi, akan mendorong mereka menjadi petani jagung atau kedele, hal ini, akan mengganggu ketahanan pangan nasional, khususnya beras sebagai makanan pokok.
Revitalisasi Pertanian Melihat kerentanan masyarakat Indonesia terpukul oleh Food Crisis, maka seharusnya pemerintah, dari jauh hari, harus mengambil langkah-langkah penyelamatan. Langkah penyelamatan dimaksud berupa tindakan-tindakan politis untuk membendung dampak kenaikan harga pangan. Kenaikan harga minyak goreng yang tidak sanggup dikendalikan pemerintah hingga sekarang, seharusnya menjadi pelajaran. Pemerintah harus merumuskan serangkaian kebijakan baru, untuk melindungi konsumen domestik dari perilaku spekulan dan eksportir yang bernafsu meraup untung besar. Langkah pertama, pemerintah secepatnya menaikkan pajak ekspor komoditi pangan, disertai ultimatum kepada produsen dan korporasi makanan yang mengontrol pangan dalam negeri, untuk memprioritaskan pemenuhan kebutuhan domestik. Langkah seperti ini sudah dilakukan oleh pemerintah Thailand dan Vietnam untuk menjaga ketahanan berasnya. Langkah kedua, melakukan pengontrolan terhadap perdagangan umum; pemerintah harus membatalkan semua perjanjian-perjanjian liberalisasi perdagangan dengan WTO. Langkah ketiga, pemerintah harus berani memberikan subsidi untuk menjaga kestabilan harga pangan, dan menyediakan anggaran yang besar untuk subsidi rakyat miskin. Anggaran bisa diperoleh dari penghapusan utang luar negeri, menarik surat obligasi perbankan, dan atau mengintensifkan pemberantasan korupsi dan pengejaran harta koruptor. Keempat, pemerintah harus mengembalikan fungsi BULOG sebagai badan yang bertanggung jawab terhadap ketahanan pangan nasional. Langkah Bank Dunia lewat World Food Programme, untuk memberantas kelaparan dengan memberikan 700 juta USD tidak akan efektif kalau tidak bersentuhan dengan pemberdayaan petani skala kecil dinegara dunia ketiga, termasuk Indonesia.
Di bidang pertanian, pemerintah harus melepaskan sektor pertanian dari kunkungan WTO dan doktrin perdagangan bebas. Keberhasilan Kuba dan Venezuela keluar dari ancaman krisis mengerikan ini, tidak lepas dari strategi pembangunan pertanian yang mandiri dan berkerakyatan; Cuba mempraktekkan organic farming. Pemerintah semestinya menyediakan basis pertanian modern yang kuat dengan memberikan modal dan tekhnologi bagi petani, disamping itu membangun infrastruktur dan industri pengolahan hasil pertanian. Pembangunan basis pertanian modern dimulai dengan pemberdayaan petani gurem yang merupakan mayoritas petani gurem yang meliputi 56,52 rumah tangga kaum tani. Mengikuti pendapat Amartya Zen, Seorang ekonom India, menurutnya kemiskinan terjadi karena ketidakadaan demokrasi. Jadi, dalam pembangunan pertanian Indonesia, kaum tani sudah semestinya ditampilkan sebagai subjek, bukan lagi hanya sebagai objek. Slogan “kedaulatan pangan—pangan untuk semua” bermakna pemberdayaan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan, dimana kaum tani terlibat menentukan jenis varietas yang cocok, target produksi, dan proses distribusi.
|
|
|
Tuesday, June 24, 2008 |
Chanel Asia News Wawancarai Petani Indonesia
|
[Jakarta, 8 Juni 2008, API] Petani tidak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga pangan global saat ini, demikian dikatakan oleh Lutfiyah Hanim kepada kepada wartawan dari MediaCorp Singapura. Wawancara yang berlangsung di tengah sawah, desa Samudera Jaya, Bekasi itu berlangsung selama beberapa jam untuk pembuatan program televisi yang rencananya akan ditayangkan 19 Juli oleh Channel News Asia. Dalam wawancaranya, Hanim yang juga menjadi penasehat untuk penelitian Aliansi Petani Indonesia, mengatakan bahwa ada banyak factor mengapa petani tidak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga pangan, beras misalnya, yang mencapai 75 persen dalam beberapa bulan terakhir.
Pertama, adanya rantai distribusi yang panjang antara konsumen di perkotaaan dengan produsen di pedesaan. Sehingga keuntungan atas kenaikan harga biasanya dieproleh oleh para pedangag dan distributor bukan oleh petani. Kedua, perdagangan beras dalam skala besar dikuasai oleh sedikit pedangan, yang menguasai jalus distriubi. Pulau Jawa misalnya, yang merupakan penghasil beras terbesar dikuasai oleh kurang dari lima distributor/pedagang beras.
Hanim juga menyebutkan adanya hubungan yang tidak asimetris antara harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen. Apabila, ada kenaikan harga di tingkat konsumen maka itu akan ditrasnmisikan secara lambat dan tidak seimbang ke tingkat produsen. Artinya kalau ada kenaikan harga di tingkat konsumn, produsen hanya mendapat sedikit atau tidak mendapat keuntungan. Sementara jika ada kenaikan di tingkat produsen, harga begitu cepat mempengaruhi kenaikan di tingkat konsumen.
Jadi, petani dan juga konsumen sebanarnya sama-sama tidak diuntungkan dari kenaikan harga ini, demikian kata Hanim.
Selain itu, pada saat kenaikan harga, juga terjadi kenaikan harga-harga input, karena kenaikan BBM sehingga akan menaikkan biaya produksi. Karena itu walalpun harga pembelian pemerintah dan harga pembelian dari tengkulak naik, tetapi kenaikan harga pupuk dan pestisida.
Karena itu, perlu campur tangan dari pemerintah. Hanim menyebutkan peran Bulog (badan Urusan Logistik) yang dulu memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kepentingan produsen dan konsumen, saat ini malah diprivatisasi. Sehingga mengurangi peranannya dalam menjaga kestabilan harga pangan, dan ketersediaan pangan di pasar.
Pemberian subsidi benih, pupuk juga masih sangat diperlukan. Selain, juga diperlukan kebijakan-kebijakan yang mendukung petani, pertanian dan ketersediaan pangan. Apalagi Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar, 220 juta, yang sebagian besar adalah menjadikan beras sebagai makanan pokok. "sangat rentan mengandalkan pasar internasional untuk meyediakan pangan bagi Negara yang berpenduduk besar seperti Indonesia" demikian kata Hanim. "pasar pangan di dunia tipis, karena Negara eksportir pangan seperti Thailand dan Vietnam akan mementingkan kepentingan domestic ketimbang melakukan ekspor. Sehingga yang harus dilakukan adalah bagaimana pemerintah membantu melalyui berbagai kebijakan, subsidi dan perlindungan pada petani yang mendorong perbaikan di sector pertanian.
Wawancara juga mengungkapkan berbagai problem petani dan pertanian. Kebanyakan petani tidak memiliki keterbatasan lahan pertanian. Sekitar 80 persen dari petani di Desa Samudera Jaya adalah petani penggarap yang tidak memiliki lahan. Sehingga harus menyewa dari pemilik, yang kebanyakan adalah para developer perumahan.
"Betapa rentannya situasi kita saat ini, mengandalkan produksi pangan, terutama beras, dari para produsen yang tidak menguasai alat produksi yang paling mendasar dalam pertanian, yaitu tanah. Jika para developer pemilik tanah itu menginginkan adanya pembangunan rumah dilakukan, kemana petani-petani kan pergi," demikian tanya Hanim.
Hanim juga menyebutkan pentingnya sector pertanian sebagai penyerap tenaga kerja. Ketika terjadi krisis, pertanian juga menampung limpahan pengangguran dari tutupnya sector industry di perkotaan.
Kepala Desa Samudera Jaya, Pak Ibnu menjelaskan bahwa sebagian besar penduduk di daaerahnya adalah petani. Namun hanya 20 persen yang memilik tanah, sebagian lagi dimiliki oleh orang-orang di Jakarta.
"sebenarnya menjadi petani itu rugi, kata Pak Ibnu. "Tapi warga saya mensiasati dengan bekerja di luar pertanian juga, seperti menjadi buruh di industry-industri, membuka warung-warung, memelihara bebek dan menanam berbagai jenis sayuran. kalau tidak begitu, mana cukup,"katanya. Karena mereka juga tidak punya pilihan lapangan kerja lain.
Pungut Setiawan, salah seorang petani yang ditemui saat itu, seperti yang lainnya, tidak punya tanah. Ia juga mensiasati kehidupannya dengan memelihara bebek. “Sebagian petani disini memang punya kerjaan sampingan, “ Kisahnya. ”Sekarang kami bisa menyewa tanah, itu sudah bagus. Dulu, para petani disini hanya bisa mengandalkan bagi hasil dengan pemilik tanah”.
Pungut Setiawan dan rekannya Nihat Maduwih mengatakan bahwa saat ini belum terlihat dampak yang nyata atas kenaikan harga pangan. "mungkin karena kami baru panen" jelas pak Pungut. Nihat Naduwih mengatakan bahwa dampak kenaikan harga BBM sudah mulai terasa dengan kenaikan beberapa bahan kebutuhan pokok.
Desa Samudera Jaya yang berpenduduk sekitar 4.200 jiwa dan 1400 KK tersebut terletak di daerah Bekasi merupakan daerah sub urban yang menampung proses industrialiasi, perumahan dan bahkan aktivitas pertambangan. Sebagian petani di desa ini, menjadi anggota Aliansi Petani Indonesia. Di kejauhan, terlihat api besar berkobar dari ladang-ladang pengeboran minyak pertamina. Bebek-bebek berenang di saluran air yang terlihat hitam dan berbusa, dan para perempuan petani terlihat memanen kangkung dan bermacam sayuran dari pinggiran sungai itu.
”kehidupan petani, tidak seperti yang orang kota bayangkan terlihat romantis, damai, dan hijau seperti iklan di televisi, tetapi penuh perjuangan”, kata Hanim. ”kami berharap, pemerintah dan semua pihak meletakkan pangan dan petani sebagai prioritas. Kami tidak ingin menuding salah satu pihak yang paling bersalah dalam krisis ini. Kami hanya mengiinginkan harga yang wajar, dan lebih baik. Agar kami bisa tetap mengirimkan anak-anak kami ke sekolah, demikian katanya di penghujung wawancara.
|
|
|
|
|